Selasa, 19 April 2011

ARTI MENGHARGAI ORANG LAIN

Seorang akademisi muda yang cerdas membuat aplikasi untuk posisi manajerial disebuah perusahaan besar. Dia lulus pada interview tahap pertama, dan tahap selanjutnya adalah interview dengan jajaran direksi.

Sang direktur menemukan prestasi-prestasi cemerlang dalam CV anak muda tersebut. Sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, anak muda tersebut selalu mendapat peringkat pertama.

Melihat prestasi-prestasi tersebut, sang direktur pun bertanya: "Apakah Anda menerima beasiswa semasa sekolah dan kuliah?"

Anak muda itu menjawab : "Tidak pak....!"

Direktur bertanya lagi : "Apakah ayah Anda yang membayar biaya sekolah Anda?".

Anak muda itu menjawab : "Ayah saya telah meninggal dunia ketika saya baru berumur satu tahun. Seluruh biaya sekolah saya dibayarkan oleh Ibu saya.."

Lalu Direktur bertanya lagi : "Di mana ibumu bekerja?"

Dan anak muda itu menjawab : "Ibu saya bekerja sebagai seorang pencuci pakaian..."

Direktur itu meminta anak muda tersebut untuk menunjukkan tangannya. Dan anak muda itu memperlihatkan kedua tangannya yang sempurna dengan telapak tangan yang sangat halus.

Melihat itu Direktur bertanya lagi : "Pernahkah Anda membantu ibu Anda mencuci pakaian sebelumnya?"

Anak muda itu menjawab : "Tidak pernah pak. Ibu saya selalu menginginkan saya belajar dan membaca banyak buku. Lagi pula, Ibu mencuci baju jauh lebih cepat ketimbang saya".

Direktur tersebut kemudian berkata : "Saya punya satu permintaan. Sekarang anda pulang dan ketika nanti anda sampai di rumah, cuci dan bersihkan tangan ibumu, kemudian temui saya besok pagi".

Anak muda tersebut merasa kesempatannya mendapat pekerjaan tersebut sangat besar. Karena itu ketika dia sampai di rumah, dengan begitu gembira ia meminta izin kepada ibunya agar ia boleh mencuci tangan beliau.

Ibunya merasa sedikit asing, aneh, juga bahagia dan perasaan-perasaan lainnya bercampur jadi satu. Sang Ibu kemudian memberikan kedua tangannya kepada sang anak. Lalu anak muda tersebut membersihkan tangan Sang Ibu dengan perlahan.

Airmatanya mulai menetes saat itu. Ini pertama kalinya ia menyadari bahwa tangan ibunya sudah penuh dengan kerutan, dan terdapat banyak memar dan kapalan di sana sini . Beberapa
memar sepertinya terasa begitu sakit, sampai-sampai Sang Ibu menggigil ketika memar tersebut dibersihkan.

Ini pertama kalinya anak muda tersebut menyadari bahwa kedua tangan yang sedang dibersihkan inilah yang digunakan Sang Ibu setiap hari untuk mencuci pakaian banyak orang, sehingga Sang Ibu dapat membiayai biaya sekolah anaknya.

Memar-memar dan kapalan yang ada di tangan Sang Ibu adalah harga yang harus dibayar atas kelulusan anak tersebut, atas prestasinya yang luar biasa, dan untuk masa depannya.

Setelah selesai mencuci tangan Sang Ibu, anak muda tersebut diam-diam mencuci sisa baju yang belum sempat dicuci oleh ibunya. Dan malam itu, anak dan ibu tersebut berbincang sangat lama sekali.

Besok paginya, anak muda tersebut bergegas menemui sang direktur.
Direktur tersebut menangkap airmata di wajah anak muda tersebut.
Ia pun kemudian bertanya : "Bisa Anda ceritakan apa yang telah Anda lakukan kemarin dan apa pelajaran yang Anda dapat dari sana ?"

Anak muda tersebut menjawab : "Saya mencuci tangan Ibu saya, dan kemudian saya menyelesaikan sisa cucian Ibu yang belum tercuci ".

"Tolong ceritakan perasaan Anda ketika itu" ujar Direktur lagi

Lalu anak muda itu menjawab : " Pertama, saya sekarang tahu apa arti apresiasi. Tanpa ibu saya, tidak akan pernah ada seorang saya hari ini.
Kedua, saya baru menyadari betapa sulit dan beratnya Ibu menjalani pekerjaannya. Dan dengan bekerja membantu Ibu, ternyata pekerjaan itu dapat meringankan beban Ibu.
Ketiga, saya datang hari ini untuk mengapresiasi betapa penting dan bernilainya hubungan keluarga".

Mendengar itu lalu Direktur tersebut berkata : "Inilah yang saya cari dari seorang calon manager. Saya ingin merekrut seseorang yang dapat mengapresiasi dan menghargai bantuan orang lain, seseorang yang tahu persis perjuangan orang lain untuk mengerjakan sesuatu, dan seseorang yang tidak akan menempatkan uang sebagai tujuan hidup satu-satunya. Oleh karena itu mulai hari ini anda diterima bekerja disini...!".

Kamis, 19 Agustus 2010

Renungan Puasa Ramadhan

RENUNGAN PUASA RAMADHAN

Prof Dr Asep S Muhtadi dalam kolom hikmah Republika menulis mengenai esensi puasa yang berupa menahan diri sebagai berikut :

Ramadhan datang setiap tahun mengingatkan kita agar memperbanyak perenungan dan pembelajaran.

Tujuannya untuk mempertajam sikap solidaritas dan meningkatkan kesadaran akan eksistensi sebagai manusia yang natural/wajar sesuai fitrahnya, agar tidak terjebak pada sikap mempertuhankan diri sendiri dan memperbudak orang lain.

Ramadhan memiliki pesan social untuk kita renungkan, terutama ketika masyarakat dan bangsa ini tengah menghadapi berbagai tantangan dan ketidak seimbangan dalam hidupnya.

Tantangan modernitas dewasa ini tidak hanya menantang untuk berfikir kritis dan bersikap dewasa, tetapi juga dorongan dorongan pada pola hidup manusia yang tidak manusiawai, selaku makhluk yang berakal cerdas tetapi berhati kering, manusia yang berbadan sehat tetapi bermental sakit, manusia berwawasan luas tetapi berperasaan sempit, manusia yang memahami alam tetapi diperbudak alam, manusia-manusia yang merasa kesepian ditengah keramaian, manusia-manusia yang miskin ditengah tumpukan kekayaan.

Beberapa gejala lainnya mencerminkan kehidupan tanpa akhlak, adalah munculnya sikap mementingkan diri sendiri dengan mengeksploitasi hak orang lain.
Atas nama demokrasi orang berani berbuat anarkis, atas nama keadilan orang tega memperkosa kebebasan orang lain, dan atas nama hokum tidak sedikit orang yang memandang lumrah sikap dan perilaku menindas dengan menyatakan sesuatu yang bukan sebenarnya.

Dalam perspektif pesan universal puasa Ramadhan, diantara factor-faktor merebaknya berbagai krisis dinegeri ini, adalah karena ketidak mampuan menahan diri.
Menahan diri untuk sanggup menahan lapar dan dahaga, lapang dalam menghadapi berbagai godaan, tidak korupsi, dan optimistis dalam menempuh masa depan, tanpa harus melarutkan diri dalam kubangan kemungkaran.

Puasa merupakan proses transendensi untuk menetralisasi bernbagai sifat buruk manusia. “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.Apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir (QS 70 : 19-21)

Lihatlah para pelaku yang menjadi sumber terjadinya sejumlah krisis dinegeri ini. Mereka yang diduga atau bahkan telah terbukti melakukan tindak korupsi, perusak lingkungan, provokator tindak kekerasan, penipu, perampok, dan lain sebagainya, semuanya ada didepan mata kita.

Mungkin mereka juga sama-sama melaksanakan puasa selama bulan Ramadhan, bahkan meraka paling awal mengeluarkan zakat, paling besar berinfak untuk pembangunan mesjid, dan tampak paling peduli menyapa fakir miskin.

Tetapi mereka telah mengingkari pesan utama puasa, yaitu kesanggupan menahan diri.
Kesanggupan menahan diri menjadi pintu masuk ruang kemanusiaan yang hakiki, sementara kegagalan menahan diri berarti telah membuka lebar pintu hilangnya martabat dan kemuliaan manusia.

Kamis, 12 November 2009

LANGKAH-LANGKAH MERAIH SUKSES

Kekayaan, pangkat, dan jabatan yang sering kali dijadikan tolak ukur kesuksesan, dalam praktiknya kerap menjerumuskan orang pada kesesatan.

Semoga Allah Yang Mahaagung mengaruniakan kepada kita kehati-hatian atas kesuksesan. Sebab, orang yang diuji dengan kegagalan ternyata lebih mudah berhasil dibandingkan mereka yang diuji dengan kesuksesan.

Banyak orang yang tahan menghadapi kesulitan, tapi sedikit orang yang tidak tahan ketika menghadapi kemudahan. Ada orang yang bersabar ketika tidak mempunyai harta, tapi banyak orang yang tidak bisa mengendalikan diri saat dikaruniai harta yang melimpah. Ternyata, harta, pangkat, dan jabatan yang sering kali dijadikan tolak ukur kesuksesan, dalam praktiknya kerap menjerumuskan orang pada kesesatan.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kesuksesan itu? Boleh jadi setiap orang memiliki pandangan berbeda mengenai kesuksesan. Namun secara sederhana, sukses bisa dikatakan sebagai keberhasilan akan tercapainya sesuatu yang telah ditargetkan. Dalam pandangan Islam, kesuksesan tidak sekadar aspek dunia belaka, tapi menyentuh pula aspek akhirat.

NILAI SEBUAH KESUKSESAN
Pertama, kalau aktivitas yang kita lakukan menjadi suatu amal. Apalah artinya kita banyak berbuat kalau tidak bernilai amal.
Kedua, bila nama kita semakin baik. Apalah artinya kita mendapatkan uang, mendapatkan harta atau kedudukan kalau nama kita coreng-moreng.
Ketiga, kalau kita terus bertambah ilmu, pengalaman, dan wawasan. Apalah artinya jika harta bertambah, tetapi ilmu dan pahala tidak bertambah. Bila ini yang terjadi, kita hanya akan terjebak oleh harta yang kita miliki.

Keempat, kita disebut sukses kalau kita dapat menjalin silaturahIm dengan orang lain, sehingga bertambah saudara. Apalah artinya mendapatkan uang dan kedudukan, tetapi musuh kita bertambah banyak. Dengan terjalin silaturahmi, insya Allah akan semakin banyak orang yang mencintai kita. Bila orang sudah cinta, maka ia akan mengerahkan ilmunya untuk menambah ilmu kita, mencurahkan wawasannya untuk mengembangkan wawasan kita, serta memberikan tenaga dan hartanya untuk melindungi kita.

Kelima, kita disebut sukses bila pekerjaan yang kita lakukan dapat memberikan manfaat yang besar kepada orang lain. Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling banyak manfaatnya". Semakin banyak menjadi jalan kesuksesan bagi orang lain, maka semakin sukseslah diri kita.

Pada hakikatnya kesuksesan itu milik setiap orang. Yang menjadi masalah, tidak semua orang tahu bagaimana cara mendapatkan kesuksesan itu. Setidaknya ada tujuh langkah atau kiat yang dapat kita lakukan untuk meraih kesuksesan tersebut. Ketujuh langkah ini harus ada semuanya, jika salah satu tidak ada, maka belum bisa dikatakan sebuah kesuksesan.

PERTAMA, BERIBADAH DENGAN BENAR.
Ibadah adalah fondasi dari niat, fondasi dari track yang akan kita buat. Siapapun yang ingin membangun kesuksesan, ia harus memperbaiki ibadahnya. Perbaiki, terus perbaiki ibadah. Siapa yang akan membimbing kita jika ibadah kita buruk? Siapa yang akan melindungi kita dari ketergelinciran kalau ibadah kita tidak jalan? Bukankah Allah SWT berjanji akan menolong orang-orang yang ibadahnya baik. Intinya, ibadah adalah fondasi yang akan membuat kita agar senantiasa terjaga dalam jalur yang tepat.

KEDUA, BERAKHLAK BAIK.
Akhlak yang baik adalah bukti dari ibadah yang benar. Apapun yang kita lakukan, kalau dilandasi akhlak yang buruk niscaya akan berakhir dengan kehancuran. Apa yang dimaksud akhlak yang baik itu? Merespons segala sesuatu dengan sikap yang terbaik.

KETIGA, BELAJAR TIADA HENTI.
Karena itu, pertanyaan yang harus kita ajukan adalah apakah kita menyukai belajar? Setiap hari masalah bertambah, kebutuhan bertambah, dan situasi berubah. Bagaimana mungkin kita menyikapi situasi yang terus berubah dengan ilmu yang tidak bertambah!

KEEMPAT, BEKERJA KERAS, CERDAS DAN IKHLAS
Curahan keringat tak selalu identik dengan kesuksesan. Berpikir cerdas adalah merupakan bagian dari kerja keras. Pada prinsipnya, sebuah hasil yang maksimal akan diraih bila kita mampu mengaktualisasikan ibadah, akhlak, dan ilmu kita dalam pekerjaan yang berkualitas.

KELIMA, BERSAHAJA DALAM HIDUP.
Ini poin yang sangat penting. Banyak orang bekerja keras dan mendapatkan apa yang dia inginkan, tetapi dia tidak dapat mengendalikan dirinya. Bersahaja itu bukan miskin, bersahaja adalah menggunakan sesuatu sesuai keperluan. Dengan bersahaja kita akan memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri dengan tidak diperbudak keinginan.

KEENAM, BANYAK MEMBANTU SESAMA.
Gemar membantu orang lain adalah tanda kesuksesan. Kita harus gigih agar kelebihan yang kita miliki dapat menjadi nilai tambah bagi sesama.

KETUJUH, SELALU DENGAN HATI YANG BERSIH
Bila hati kita berpenyakit, maka akan tumbuh rasa ujub, ria, sum'ah, takabur, dan lainnya. Kondisi ini akan membuat amal-amal kita tidak berarti; tidak indah lagi di dunia dan tidak berkah lagi untuk akhirat. Allah SWT berfirman, Pada hari ketika harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat (QS. Asy-Syu'ara: 88-89).

Mudah-mudahan dengan langkah atau kiat tersebut dapat kita lakukan dengan baik dan konsisten atau istiqomah, Insya Allah akan berdampak untuk kesuksesan diri, berdampak pada lingkungan, dan pada saat yang sama berdampak pula pada kesuksesan kita di akhirat. Wallahu a'lam bishawab.

Oleh : Ustad Danu Kuswara
Jakarta, 11 November 2009

Kamis, 01 Oktober 2009

Titipan

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,
tetapi,

mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku,
apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat,
ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?

Ketika diminta kembali,
kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja
untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil, lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,

dan
kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
Seolah ...
semua "derita" adalah hukuman bagiku.
Seolah ...
keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:
aku rajin beribadah,

maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan Nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
dan bukan Kekasih.

Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku",
dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti,
padahal tiap hari kuucapkan,

hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...
"ketika langit dan bumi bersatu,
bencana dan keberuntungan sama saja".
(WS Rendra)

Selasa, 01 September 2009

Hikmah Ramadhan



Kyai Haji Mustofa Bisri, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Mus, beliau menulis mengenai hikmah Ramadhan, yang indah sekali penggambarannya sebagai berikut :

Sebagai hamba Allah SWT yang telah berikrar, sebenarnya apa pun perintah-Nya, kita tidak perlu dan tidak pantas bertanya-tanya mengapa, untuk apa?. Hamba yang baik justru senantiasa ber-husnuzhzhan, berbaik sangka kepada-Nya. Allah SWT memerintahkan atau melarang sesuatu, pastilah untuk kepentingan kita.


Karena Allah SWT Maha Kaya, tidak memiliki kepentingan apa pun. Ia mulia bukan karena dimuliakan; agung bukan karena diagungkan; berwibawa bukan karena ditunduki. Sejak semula Ia sudah Maha Mulia, sudah Maha Agung, sudah Maha Kaya, sudah Maha Berwibawa. Kalau kemudian Ia menjelaskan pentingnya melaksanakan perintah-Nya atau menjauhi larangan-Nya, semata-mata karena Ia tahu watak kita yang suka mempertanyakan, yang selalu menonjolkan kepentingan sendiri.

Maka, sebelum kita mempertanyakan mengapa kita diperintahkan berpuasa, misalnya, Allah SWT telah berfirman:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

(Q. 2. Al-Baqarah: 183)

"Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa atas kalian sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa."

Jadi, puasa yang diwajibkan sejak dulu kepada kaum sebelum kita, bertujuan utama: agar kita manusia ini bertakwa. Takwa adalah kondisi puncak hamba Allah. Hamba mukmin di dunia ini, dalam proses menuju ketakwaan kepada Allah SWT. Karena semua kebaikan hamba di dunia dan kebahagiaannya di akhirat, kuncinya adalah ketakwaan kepada-Nya. Mulai dari pujian Allah SWT, dukungan dan pertolongan-Nya, penjagaan-Nya, pengampunan-Nya, cinta-Nya, limpahan rejeki-Nya, pematutan amal dan penerimaan-Nya terhadapnya; hingga kebahagiaan abadi di sorga, ketakwaanlah kuncinya. (Baca misalnya, Q.3: 76, 120, 133, 186; Q.5:27; Q. 16: 128; Q. 19: 72; Q. 39: 61; Q. 65: 2-3; Q. 33: 70-71; Q. 49: 13).

Itu garis besarnya. Apabila kebahagiaan yang dicari manusia, itulah kuncinya. Kunci dari Sang Pencipta manusia dan kebahagiaan itu sendiri. Seringkali, manusia merasa mengerti dan tahu jalan menuju kebahagiaan. Mengabaikan tuntunan Tuhannya. Ternyata tersesat. Akhirnya, kebahagiaan yang dicari, kesengsaraan yang didapat. Di zaman modern ini misalnya, banyak orang menganggap kebahagiaan bisa didapat dari materi dan orang pun berlomba-lomba mengejar materi. Seringkali, sampai “kaki dijadikan kepala, kepala dijadikan kaki”. Ujung-ujungnya, karena materi ternyata tidak kunjung memberi kebahagiaan, mereka pun lari kepada yang lebih mudarat lagi: mengonsumsi obat-obatan. Narkoba.

Untunglah, Allah menyediakan satu bulan, bulan suci, dimana kita diberi kesempatan untuk melakukan muhasabah yang lebih intens. Kita diberi anugerah luar biasa yang namanya p u a s a. Di bulan Ramadan di mana kita berpuasa, ritme dan gaya hidup kita berubah. Jadwal makan pun berubah dengan satu kelebihan: kita memenuhinya dengan teratur. Maka, banyak kalangan ahli yang kemudian mengaitkan puasa dengan kesehatan, merujuk sabda Nabi kita, “Shuumuu tashihhuu”, (Berpuasalah kalian, maka kalian akan sehat).

Dengan berpuasa, tidak hanya makan-minum kita menjadi teratur; malah para ahli mengatakan bahwa puasa dapat membersihkan dari tubuh kita, unsur-unsur buruk yang membuat kita sakit.

Jadi, puasa bulan Ramadan, bukan saja dianugerahkan Allah bagi kepentingan ruhaniah, tapi juga jasmaniah kita. Atau dengan kata lain, Allah menganugerahkan kepada kita puasa sebagai sarana menyempurnakan diri. Jasmaniah dan ruhaniah. Kalau ungkapan “Al-‘aqlus saliim fil jismis saliim” menyiratkan pentingnya menjaga kesehatan jasmani agar akal menjadi sehat, maka puasa justru memberi peluang kepada kita untuk sekaligus meraih keduanya.

Dengan puasa, hamba Allah digembleng untuk menjadi manusia yang benar-benar sehat luar dalam yang selalu mengingat Sang Penciptanya. Bukan manusia penyakitan yang gampang lupa kepada Tuhannya. Orang yang lupa Tuhannya, seperti difirmankanNya sendiri dalam kitab sucinya al-Quran, dibuat lupa kepada dirinya sendiri.(Q. 59: 19).

Mari kita sikapi bulan Ramadan dengan segala suasana khusyuknya ini dengan sebaik-baiknya. Berpuasa sesuai aturan dan dengan merenungkan hikmah-hikmahnya. Kita penuhi saat-saatnya dengan meningkatkan amal ibadah yang tidak hanya bersifat ritual mahdhah. Dan dalam hal ini, perlu kita waspadai jebakan si serakah industri, termasuk dan utamanya industri pertelevisian, yang lagi-lagi memanfaatkan momentum bulan suci untuk mengeruk keuntungan materi dan membedaki tujuan komersialnya dengan pupur religi. Selamat Beribadah!

Minggu, 09 Agustus 2009

Puisi mengenang Rendra


Oleh : Taufiq Ismail

Aku disambar berita halilintar kamis malam ketika bulan belum kelam.
Disini dirumah puisi diantara gunung Merapi dan gunung Singgalang.
Sampailah berita seorang sahabatku yang berpulang WS Rendra.

Dia penyair, dramawan, aktor, sutradara, seniman , budayawan, kritikus masyarakat
Seorang yang sangat cinta pada manusia, pada bangsanya, seorang yang tak bisa melihat
Salah urus dan penindasan.

Dalam puisi dan drama yang dia pentaskan dia tak peduli walau untuk itu ia masuk tahanan.

Willy telah 48 tahun terjalin persahabatan, sejak 1961 kita berteman, berdebat, bertukar fikiran, bertengkar, menggunting, menjahit dan menambal zaman.
Pergi kesana dan kemari panjang sudah perjalanan, kaki langit ternyata jauh dalam jangkauan.
Apa yang selalu sandal kita, rasa dalam injakan peluh, airmata, daki, kemarau ,angin dan taufan.

Willy, pada suatu hari cucuku Aidan dan Rania berkata, Datuk pilihkan dari Eyang Rendra puisi cintanya.
Saya memandang cucu-cucu saya, pilihanmu untuk puisi-puisi cinta pada Eyang Rendra alangkah tepatnya.
Dengarkan ini satu berjudul Stanza Datuk bacakan :

Ada burung dua jantan dan betina hinggap didahan,
Ada daun tua tidak jantan tidak betina gugur didahan,
Ada angin dan kapuk dua-dua sudah tua, pergi ke selatan,
Ada burung ,daun,kapuk,angin,dan mungkin juga debu mengendap dalam nyanyiku.

Mendengar puisi cinta eyang Rendra itu betapa senangnya hati cucu-cucuku

Willy ! mendengar kau sakit dibulan Juli, pergilah aku dan istriku Ati, menjenguk kau yang terbaring sendiri, ditemani Clara, Ken sedang pulang,
Diruang gawat darurat di rumah sakit ini, bersama Amaq Baldjun dan Jose Rizal Manua, kau telentang ditempat tidur, jarum infuse ditangan, kau tidak boleh banyak bicara, tapi Willy, kau gembira sekali, banyak bicara begitu begini, tentang penyakit dari jantung hingga ke ginjal, kau sebenarnya tak bpoleh banyak bicara, tapi siapa yang bisa mencegahmu bicara.

Akhirnya aku ajak kita berdoa bersama, sementara berdoa kita mengangis pula, siapa yang bisa mencegah titiknya air mata. Selesai berdoa aku dan Ati permisi pergi, kita berpelukan dan bertangisan.

Sampai diujung tempat tidur, kau panggil kami Fiq ! jangan pergi ! jangan pergi!, aku kembali, doa kita ulangi lagi, airmata makin bercucuran, rupanya itulah pelukan penghabisan.Duapuluh empat hari kemudian, engkau pergi memenuhi panggilan.

Willy! Perjalanan kau terakhir, seindah-indah perjalanan, dihari nisfu Sya’ban menjelang Ramadhan, penuh baraqah bacaan Qur’an.
Dimalam Jum’at kau berangkat, besoknya sesudah selesai jamaah bershalat juma’at, betapa banyaknya orang-orang yang berduka di Cipayung mengantar kau ke pemakaman, betapa tinggi makna ini peristiwa, bahkan inilah kehormatan luar biasa kepergian kau kea lam baqa, tanpa rencana jadilah ia upacara.

Betapa dalam hikmah yang sebenarnya, dapatkah tertangkap oleh mata yang fana.
Selamat jalan sahabat, juru bicara artistic kami, urusan kau bukan semata-mata keindahan estetika, tapi jauh lebih dari itu, seperti yang tulis tujuh tahun yang lalu, dalam sajakmu Do’a Untuk Anak Cucu:

Ya Allah kami dengan cemas menunggu kedatangan burung dara, yang membawa ranting zaitun dikaki bianglala kami bersujud dan berdoa, isinya persis seperti do’aku ini.;
Lindungilah anak cucuku, lindungilah daya hidup mereka, ya Allah satu-satunya Tuhan kami sumber dari hidup kami ini, kuasa yang tanpa tandingan, tempat tumpuan dan gantungan, tak ada samanya diseluruh semesta raya. Allah, Allah, Allah,Allah

Selasa, 04 Agustus 2009

Belajar Mengaku Kalah

Ini saya cuplik tulisan Gus Solah ( Salahuddin Wahid), supaya kita punya pemimpin yang berhati legowo, yang kasihan sama rakyat.

" Ratusan juta orang di seluruh dunia mengikuti proses Pemilihan Presiden AS 2008 melalui televisi. Mendengar pidato kekalahan McCain, semua takjub. Mengagumi kebesaran jiwanya dan terpesona isi pidato kekalahannya yang menyentuh hati. Substansi pidato itu tidak kalah

dibandingkan pidato kemenangan Obama.

Kata McCain, ”Malam ini amat berbeda dengan malam-malam sebelumnya, tidak ada dalam hati saya, kecuali kecintaan saya kepada negeri ini dan kepada seluruh warga negaranya, apakah mereka mendukung saya atau Senator Obama. Saya mendoakan orang yang sebelumnya adalah lawan saya, semoga berhasil dan menjadi presiden saya.”

Al Gore ”versus” Bush

Penghitungan suara Pilpres 2000 (Wapres Al Gore melawan Bush) amat dramatis. Hasil penghitungan suara secara nasional hampir selesai dan siapa pemenangnya bergantung pada penghitungan suara di Florida, yang gubernurnya adalah adik capres Bush. Suara Bush: 2.909.171, suara Gore: 2.907.387. Selisihnya amat kecil: 1.784 suara.

Tim kampanyenya berhasil mencegah Al Gore yang sedang dalam perjalanan untuk mengakui kekalahan di depan publik. Mereka berusaha keras agar dapat di lakukan penghitungan ulang di seluruh Florida. Maka, dimulailah proses hukum yang menegangkan, yang memakan waktu beberapa pekan hingga melibatkan MA Florida dan MA Amerika Serikat.

Pemilihan menggunakan mesin yang ternyata hasil coblosannya sering tidak jelas kalau tidak cukup kuat menekannya. Perdebatan terjadi tentang standar coblosan yang bisa diakui sebagai tanda bahwa si pemilih telah menentukan pilihannya.

Sempat dilakukan penghitungan ulang untuk sejumlah county dan selisih suara menurun tinggal 327 suara. Terjadi tekanan massa pendukung Bush untuk menghentikan proses penghitungan ulang di sebuah county. Lalu, ada perintah untuk menghentikan penghitungan ulang.

Tim Al Gore masih tetap ingin berjuang. Al Gore menelepon ketua tim untuk menghentikan perjuangan itu. Salah satu kalimat Al Gore amat menarik: ”Kalaupun aku menang (dalam penghitungan suara), rasanya aku tidak menang (dalam pengertian lebih luas). Ayahku mengatakan bahwa kekalahan dan kemenangan itu dibutuhkan untuk memuliakan jiwa kita.”

Lalu, Al Gore tampil dalam acara TV bersama Bush yang ada di tempat lain untuk mengakui kekalahan dan menyampaikan selamat kepada Bush. Tidak ada protes atau demo pendukung Al Gore. Ternyata Al Gore betul, dia menerima hadiah Nobel, sedangkan Bush dianggap sebagai salah satu Presiden AS terburuk.

Jesse Owens dan Hitler

Ada kisah menarik pada Olimpiade 1936 di Berlin tentang Jesse Owens, atlet terbesar AS berkulit hitam, pemegang rekor dunia untuk lari 100 meter dan 200 meter. Jerman mempunyai atlet hebat yang bisa menjadi saingan berat Jesse Owens.

Pertarungan antara atlet Jerman dan Owens akan menjadi atraksi paling bergengsi. Karena itu, Hitler memompa semangat atlet Jerman itu. Hitler yang rasis menyatakan, Owens seorang negro yang tidak sepadan dengan atlet Jerman yang berdarah Aria, ras terunggul di dunia. Dia mengatur agar penonton mendukung si atlet Jerman dengan menyoraki Owens agar emosinya terganggu dan kalah.

Ternyata Owens tampil sebagai juara. Hitler tidak dapat menerima kekalahan itu dan tidak bersedia memberikan selamat kepada Owens. Si atlet Jerman yang kalah ternyata bukan rasis dan punya sportivitas tinggi. Dia berani menghampiri dan memberikan selamat kepada Owens di depan Hitler dan puluhan ribu penonton.

Kondisi Indonesia

Bandingkan tiga hal di bagian awal tulisan ini dengan apa yang terjadi di Indonesia. Pidato kekalahan memang belum menjadi tradisi di sini. Namun, mengucapkan selamat meski tidak langsung bertemu, cukup dengan telepon atau melalui pers, sudah merupakan suatu teladan yang baik bagi masyarakat.

Saya tidak tahu apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah sempat bertemu dan berjabat tangan dengan Megawati Soekarnoputri pasca-Pilpres 2004. Namun, kita tahu, Taufik Kiemas telah menjalin komunikasi langsung dengan Presiden Yudhoyono. Pak Habibie, tanpa beban datang ke Istana menemui Presiden Yudhoyono. Gus Dur menghadiri upacara peringatan 17 Agustus 2008 dan bersilaturahim Idul Fitri ke Istana Merdeka.

Yang paling parah adalah terjadinya konflik fisik di antara pendukung pasangan calon gubernur di Maluku Utara (Malut). Tak terdengar adanya upaya dari kedua cagub untuk meredam emosi para pendukung. Meski menganggap tidak sah penetapan dan pelantikan Gubernur Malut oleh Mendagri, akan baik jika pihak yang kalah dengan legowo menerima kekalahan dan mengucapkan selamat kepada pemenang. Setelah itu melakukan rekonsiliasi di antara kedua kelompok pendukung.

Menanamkan kesadaran

Kisah Owens dan Al Gore saya dapatkan melalui film. Perlu digali dan disosialisasikan kisah tentang mereka yang kalah bertanding dalam bidang apa pun (politik, olahraga, dan ilmu) yang menunjukkan bagaimana cara menjadi pihak yang kalah secara terhormat, terutama di Indonesia.

Adang Daradjatun berani mengakui kekalahannya dalam pemilihan gubernur DKI di depan pers. Seusai menghadiri sidang untuk mendengarkan pembacaan putusan penolakan MK terhadap gugatan pasangan Wiranto-Wahid tentang hasil penghitungan suara KPU, di depan wartawan saya menyampaikan selamat kepada pasangan SBY-JK dan Mega-Hasyim. Tentu masih banyak lagi contoh lainnya.

Sejak kecil perlu ditanamkan kesadaran, jika sudah kalah dan mengaku kalah, itu terhormat, tidak memalukan atau mencemarkan nama baik. Tindakan itu justru menunjukkan kebesaran jiwa, kedewasaan, dan sikap ksatria. Bayangkan apa jadinya jika Al Gore tetap ngotot dan tidak mau mengaku kalah.

Baik sekali jika dalam Pilpres 2009, capres yang kalah menyampaikan pidato kekalahan. Lalu, tradisi itu diikuti cagub dan cabup. Namun, tradisi itu perlu diikuti proses pemilihan calon yang pertimbangan utamanya bukan uang dan pelaksanaan pemilihannya bersih dan jurdil. Tanpa itu, pengakuan kalah kurang bermakna.

Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng