Jumat, 28 Maret 2008

KAROSHI


Itu istilah jepang yang terjemahan harafiahnya kira-kira kematian akibat kerja terlalu keras (overwork), biasanya karena terkena serangan jantung atau stroke Sekitar sepuluh ribu jumlah kematian di jepang setiap tahunnya di nisbahkan karena Karoshi.
Penelitian menunjukkan ada lima faktor kunci penyebab karoshi yaitu

1. Waktu kerja yang amat panjang yang mempengaruhi pola istirahat dan pemulihan normal
2. Kerja lembur malam hari yang mempengaruhi pola istirahat dan pemulihan normal
3. Bekerja tanpa disertai liburan atau berhenti sejenak sama sekali
4. Kerja dengan tekanan tinggi tanpa istirahat
5. Kerja fisik yang terus menerus dalam tekanan tinggi

Didalam kehidupan modern sekarang ini, semua orang dituntut serba cepat seolah berkejaran dengan waktu. Ya memang waktu merupakan satu-satunya komoditas yang tak tergantikan sehingga memang tidak bisa disia-siakan. Pepatah barat mengatakan time is money, waktu adalah uang, Al Qur’an bahkan mengatakan waktu adalah amal, rugilah yang menyia-nyiakannya. Itu sebabnya manusia berkejaran dalam bekerja, bahkan ada yang sampai mengorbankan kesehatan, menjadi workaholik.

Tapi disini bukan maksud saya mau membicarakan soal waktu, soal itu benar adanya, yang saya permasalahkan adalah soal pengelolaan energi .

Lho kok energi? Ya karena orang-orang sampai mengalami karoshi, disebabkan pengelolaan energinya tidak seimbang. Untuk melakukan semua aktivitas atau amal itu diperlukan energi yang mesti dikelola secara baik dan benar , seperti orang memakai ponsel kalau kebanyakan dipakai bicara, sms, denger musik, foto, chating dan sebagainya dalam waktu yang panjang dan terus menerus tanpa berhenti, pasti baterei nya cepat habis bahkan mungkin rusak.

Coba perhatikan kearifan alam semesta, Tuhan telah membuat siang untuk manusia agar bisa beramal, dan malam agar manusia bisa tidur dan beristirahat untuk memulihkan dirinya setelah seharian lelah bekerja. Itu merupakan irama alam yang teratur dan seimbang, siang ada dua belas jam, juga malam.

Suara dapat menjadi musik berkat adanya ruang diantara not-not, demikian halnya kata-kata muncul berkat adanya ruang diantara huruf-huruf. Adanya ruang diantara pekerjaan membuat cinta, pertemanan dengan kedalaman dan dimensinya menjadi terawat baik.

Persisnya didalam hidup perlu ada ruang untuk pemulihan untuk mengembalikan energi yang telah kita gunakan baik fisik, emosi, mental maupun spiritual, tanpa adanya jeda waktu untuk pemulihan, hidup akan menjadi tidak jelas karena menjadi tidak seimbang..

Untuk mempertahankan kebugaran fisik perlu olah raga teratur minimal tigapuluh menit setiap hari, limakali dalam seminggu dan maksimal tujuh kali , lebih dari itu akan menyebabkan tubuh kelelahan, dan kehilangan kebugaran dan tubuh tak berenergi.

Hal yang sama terjadi di alam mental dan spiritual, pekerjaan-pekerjaan atau tindakan yang memerlukan eksposure energi mental secara berlebihan dan berkepanjangan, akan menyebabkan kita menjadi depresi, yang buntutnya kita kehilangan rasa senang dan bahagia..

Untuk itu cara kita membangun kapasitas emosional, mental dan spiritual, sama persis dengan cara kita membangun kapasitas fisik. Kita harus membuka diri secara sistematis terhadap stress sampai pada keluar dari batas normal, namun harus diikuti pemulihan memadai.

Untuk memperbesar otot kapasitas diri , kita harus berani keluar dari zona kenyamanan , masuk kedalam zona ketidak nyamanan (ancaman) dalam jangka pendek , kemudian keluar untuk masuki zona pemulihan dan relaksasi, demi kesehatan jangka panjang.

Dakilah setinggi mungkin bukit stress namun kemudian turun kembali kelembah pemulihan dan relaksasi ini penting sebab kita hidup dizaman yang sangat menghargai pekerjaan dan aktivitas, tetapi mengacuhkan pemulihan, padahal dengan mengikuti keseimbangan alam semesta itu berarti kita sudah tunduk/pasrah (muslim).

Selasa, 25 Maret 2008

Maulud Nabi


Maulid nabi

Sholawat sholawatan
Barokat barokatan
Ala Muhammad Rasulillah
Wa ala alihi wa shahbih

Salam sinareng sholawat
Muga netes ka kanjeng nabi Muhammad
Natrat ka para karabat
Para ahli jeung shohabat

Ya Tuhan ya Rahman
Dialah Muhammad yang membimbing kami kesana
Ke jalan lurus tanpa belokan
Datar memanjang dan merentang
Ke ridho Tuhan, ke nikmat Tuhan
Dan ke pengampunan Mu

Salam sinareng sholawat
Muga netes ka kanjeng Nabi Muhammad.

Selasa, 18 Maret 2008

Survey Indeks kebahagiaan



Ternyata dari hasil survey Indonesian Happiness Index tahun 2007 oleh Frontier Consulting Group, sebagaimana dimuat di majalah Intisari Edisi Maret 2008, diketahui bahwa orang-orang yang paling bahagia di Indonesia adalah kaum professional, disusul oleh middle management, tentara dan pegawai tingkat staf. Jajaran top management yang dianggap sebagai golongan berpunya, justru menduduki tingkat yang paling rendah, atau yang paling tidak bahagia.
Setidaknya ini membuktikan bahwa jabatan tinggi dan kekayaan tidak selalu berkorelasi bahagia.

Jadi kalau dalam hidup ini kita mau mengejar kebahagiaan, kita gak usah ngotot mencari kekayaan materi dan jabatan tinggi, alih-alih senang, malah jatuh sakit karena harus berurusan dengan tetek bengek berbagai keharusan-keharusan yang menyertainya, jadi benar itu pepatah yang mengatakan jer besuki mawa beyo.

Tapi semua ini tergantung definisi kita tentang kebahagiaan, setiap orang punya definisi berbeda tentang kebahagiaan., kalau dilihat dari kacamata Maslow tentang hierarkhi kebutuhan manusia, Maslow membagi kebutuhan manusia itu secara berjenjang, dimulai dari pemenuhan kebutuhan dasar/fisilogis yang bersifat materi, kemudian meningkat kepada pemenuhan psikologis, seperti rasa aman, nyaman, setelah itu apa cukup untuk mengatakan kita bahagia ? sepertinya belum, karena setelah kebutuhan fisik, psikis terpenuhi, kita masih membutuhkan kenyamanan sosial, perasaan diterima dan bagian masyarakat, setelah itu bisa kita katakan kita merasa senang tetapi belum bahagia lho , manusia masih butuh aktualisasi diri, ini menurut saya kebutuhan spiritual, karena manusia diminta melakukan apa yang panggilan hatinya, sebelum ia pulang ke haribaan Tuhan. Jika panggilan ini bisa dipenuhi saya kira orang itu sudah bisa dikatakan bahagia.

Untuk bahagia gak perlu memenuhi jenjang Maslow , yang penting ia bisa memenuhi panggilan hatinya,

Menurut Quantum Ikhlas , asset utama manusia adalah pikiran dan perasaan, meski pikiran kita positif tetapi perasaan kita negatif, hasilnya negatif. Perasaan adanya di hati (baca jantung), pikiran adanya di otak. Jantung kita bergetar 5000 kali lebih kuat dari getaran pikiran, malah getaran jantung lebih dulu berdegup pada waktu kita lahir sebelum pikiran kita ada.

Pikiran dan otak kita bekerja menyelesaikan 12 % problem di alam sadar, sementara perasaan dan jantung kita menyelesaikan 88% problem kita dialam bawah sadar. Harusnya pikiran tidak boleh mendominasi kita, Budha juga bilang bahwa sumber penderitaan manusia adalah pikiran , pikiran adalah sumber samsara, makanya Budisme mengembangkan teknik meditasi untuk meninggalkan pikiran dan memasuki alam bawah sadar (perasaan).

Sumber kesenangan dan kebahagiaan kita terletak di perasaan atau di jantung, yang secara fisik juga sumber aliran darah, begitu berhenti kita mati, sama juga begitu perasaan kita mati, maka kita juga mengalami krisis kemanusiaan.

Jadi menurut saya munculnya kebahagiaan bersumber dari munculnya perasaan positif, dan perasaan terhubung kepada yang Diatas. Perasaan positif akan mendorong pikiran pun menjadi positif, dan perasaan tenang muncul, modalnya kita mesti bisa pasrah kepada aturan Tuhan, ilkhlas dalam berbuat, mensyukuri hidup yang diberikan, sabar atas segala cobaan.Gimana?

Selasa, 11 Maret 2008

Peran negara







Mau tahu peran Negara yang paling dasar, yaitu mengayomi, melayani, dan mengatur yang menjadi warganya.

Lantas negara itu apa atau siapa, tidak lain adalah sebuah subjek hukum yang dibentuk oleh masyarakat/rakyat yang tugas pokoknya mengurus hal-hal yang bersifat kepentingan bersama, milik bersama, tujuan bersama dan bukan untuk mengurus hal-hal privat yang menjadi kewajiban dan domain orang perorangan.

Kenapa saya menulis topik ini, tidak lain karena prihatin rasanya negara kita yang sudah hampir 63 tahun merdeka dari penjajahan ini, tapi masih belum maksimal dalam menjalankan perannya terlebih dalam hal mengayomi dan melayani warga nya.

Coba saja lihat warga negara kita yang keleleran dan diperlakukan sewenang-wenang diluar negeri sepertinya tidak mendapatkan pengayoman yang memadai, didalam negeri TKI bukannya dilayani dengan sepenuh hati , malah jadi bahan pemerasan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Peran pelayanan oleh negara ini yang benar-benar pantas dikeluhkan, makin kesini seharusnya kalau kita tambah maju, maka semestinya hidup ini makin mudah, yang terjadi malah sebaliknya, makin susah. Energi yang dikeluarkan oleh orang Indonesia untuk mendapat pelayanan publik dibanding dengan negara tetangga saja mungkin lebih besar .

Di sini angkutan umum kebanyakan juga bukan disediakan negara seperti di negara yang sudah maju, tetapi oleh pihak swasta, sekarang malah jalan umum pun dibangun oleh swasta dengan konsep tol, nanti malahan bandara, pelabuhan, penjara, universitas diserahkan keswasta semuanya dengan konsep cost recovery

Konsep privatisasi ini , yang berkembang mulai sejak Margaret Thatcher, di era tahun 80 an, kemudian terus mewabah, peran negara menyusut dari pelaksana pelayan publik, menjadi hanya pengatur/regulator dan pengayom saja. Ini sepertinya sudah jadi paradigma saat ini .

Tapi oke lah kalau memang maunya begitu, namun kalau demikian halnya, harusnya yang ngatur lebih pintar dari yang diatur bukan sebaliknya, dan yang paling penting yang mengakkan peraturanpun harus lebih cerdas, supaya tidak bisa diakali. Supaya yang namanya asset publik bisa dipelihara untuk kepentingan semua warga.

Grundelan saya saat ini adalah kapan ya kita sebagai warga negara benar-benar dilayani dengan sikap sepenuh hati oleh negara, dan bukannya malah negaranya minta dilayani oleh rakyatnya, ini kan terbalik-balik namanya. Begimana nih ?

Rabu, 05 Maret 2008

Perbedaan Kompetisi dgn Kolaborasi


Sekarang kita lihat beda antara kompetisi dengan kolaborasi :

KOMPETISI

Tujuan : Meraih kemenangan dan mengalahkan pihak lain
Semangat :Memenangkan, mengalahkan, mengungguli,bahkan menyerang dan mematikan orang lain
Sifat :Lebih mengutamakan hasil, cenderung menghalalkan segala cara
Prinsip :Orang lain yang memiliki tujuan yang sama dipandang sebagai kompetitor
Strategi :Meningkatkan keunggulan organisasi/individu
Ukuran hasil :Kemenangan individu/organisasi, mengalahkan organisasi/individu lain
Kelebihan/kekurangan
· Mudah memotivasi individu/organisasi
· Lebih disukai oleh mereka yang memiliki potensi dan ambisi besar
· Meningkatkan egoisme kelompok;
· Memperkuat sekat-sekat dalam kelompok

KOLABORASI
Tujuan
:Meraih keberhasilan bersama
Semangat :Mendukung orang lain, memberi yang terbaik dari diri kita
Sifat : Lebih mengutamakan kualitas proses demi hasil yang berkualitas
Prinsip :Orang lain yang mempunyai tujuan yang sama adalah partner, karena memiliki potensi untuk meraih keberhasilan bersama
Strategi :Meningkatkan kerjasama organisasi/individu
Ukuran hasil :Penerimaann oleh pemangku kepentingan
Kelebihan/kekurangan
· Susah memotivasi individu/kelompok
· Kurang disukai mereka yang memiliki ego dan ambisi yang besar
· Mengurangi egoisme, menimbulkan sinergi
· Menghilangkan sekat-sekat kelaompok.

Senin, 03 Maret 2008

Kompetisi vs Kolaborasi


Ini mungkin agak absurd mendikotomi antara kompetisi dengan kolaborasi, karena dalam alam pikiran liberal kapitalistik materialistik seperti sekarang ini tidak dapat lagi disangkal kalau kata-kata kompetisi atau persaingan adalah suatu keniscayaan, bahwa hanya karenanyalah lahir sesuatu yang terbaik dari diri manusia/organisasi modern, aksioma ini menyatakan tanpa persaingan tak mungkin manusia mencapai kompetensi yang tertinggi yang dimilikinya.

Saya kira semua orang akan setuju dengan hal itu, asalkan kompetensi dilakukan secara fair/adil, jujur dan transparan, bahkan dalam agama kita juga diminta untuk melakukan apa yang diistilahkan dengan fastabikul khairat, yakni berlomba lombalah kamu dalam kebaikan. Jadi kompetisi adalah suatu cara mencapai kebaikan.

Yang di masalahkan disini bukan hasil baik yang lahir dari kompetisi, tetapi effek samping yang ditimbulkannya dalam kehidupan kita. Pertama kali begitu kita memasuki pintu kompetisi , maka sistem mental kita akan men set up diri kita ke posisi alertness, suatu sikap keterjagaan dan kewaspadaan penuh , lebih tepatnya mental kita akan men set up diri kepada mode survival.

Untuk mencapai posisi kewaspadaan yang penuh, mau tidak mau sistem biologis kita akan dirangsang mengeluarkan hormon adrenalin yang bisa menyebabkan meningkatnya tekanan pada pembuluh darah , bertambahnya denyut jantung lebih cepat, serta nafas memburu, keadaan mana sebenarnya sama dengan keadaan stress,jika kondisi tersebut berlangsung cukup lama bisa-bisa bikin tambah depresi dan frustasi yang bisa membuat seseorang cepat collaps.

Kalau kondisi tersebut terjadi hanya sebentar dan hanya berlaku dibidang permainan dan bukan dibidang kehidupan secara keseluruhan tentu dampaknya kecil saja, akan tetapi jika kompetisi itu memasuki dataran peradaban, maka effek sampingnya juga berskala peradaban.

Coba kita amati peradaban kita sekarang, rasanya tidak ada suatu istilahpun yang dinisbahkan untuk sebuah kemajuan, keberhasilan tidak menggunakan jargon kompetitif, sebuah keberhasilan hanya bisa dicapai jika person atau organisasinya kompetitif. Akan tetapi paradoks yang terjadi justru membuat miris , semakin manusia maju dan menjadi modern mengapa manusia menjadi lebih pendek umurnya dan makin berhasil dalam kehidupan materialnya manusia modern semakin tidak bahagia?, Bandingkan dengan manusia dulu di zaman peradaban awal usia manusia bisa lebih panjang.

Pernah dilakukan sebuah penelitian di negara maju, terungkap bahwa ternyata manusia memiliki potensi umur biologis minimal usia 93 tahun,dan yang terpanjang 175 tahun, artinya 5 sampai 7 kali masa pertumbuhan manusia, kalau diambil rata-rata maka potensi umur biologis manusia bisa mencapai usia rata-rata 125 tahun, saat ini dari seluruh bangsa-bangsa didunia yang memiliki usia harapan hidup tertinggi adalah Jepang yakni 93 tahun.

Betapapun bukan mau mengatakan bahwa kompetisi tidak diperlukan, tetapi bisakah kompetisi itu menghindarkan diri dari suatu hal yang mungkin kedengarannya musykil terjadi yakni suatu keadaan menang-kalah, yakni saya menang orang lain kalah atau istilahnya the winner takes all .

Kalau kita cermati kompetisi tak lain hanya sebuah cara untuk mencapai tujuan hidup manusia, yang digunakan karena pra anggapan terbatasnya sumberdaya alami guna menopang kehidupan ini . Dalam anggapan ini persaingan dan perebutan sumberdaya alami yang terbatas itu adalah sebuah keharusan agar bisa survive, perjuangan hidup mati , pemenangnyalah yang berhak hidup survival of the fittest. yang kalah harus minggir dan boleh ditindas.

Dalam logika tersebut tidak aneh kalau kita semua berlomba-lomba mengembangkan fakultas integensia terutama IQ, akibatnya kehidupan kita makin sumpek, kering, kurang bahagia, egois , mau menang sendiri melahirkan mentalitas serakah (out side in), . Dalam budaya kompetisi untuk menang ,mutlak diperlukan keunggulan, bukan keunggulan sekadarnya, akan tetapi keunggungan yang sulit ditiru yang akan membuat semua pesaing tak berkutik (baca mampus). Nilai kompetisi mengajarkan bahwa tidak ada tempat bagi kelemahan dan tidak toleransi terhadap kekurangan diri sendiri, tidak ada belas kasihan terhadap lawan, tidak ada peluang bagi kemenangan bersama


Padahal kalau mau direnungkan lebih dalam, spesies manusia hanya ada di bumi yang melayang-layang kesepian di tata surya sendirian dalam gugus galaxy bima sakti yang jumlahnya terdapat milyaran bintang. Harusnya malah manusia bukan bersaing satu-sama lain didalam kehidupan di bumi , akan tetapi justru malah mesti bersama-sama bahu-membahu menata kehidupan bersama dibumi dengan tolong-menolong demi kesejahteraan umat manusia dibumi.

Kerusakan bumi, peperangan, terorisme, korupsi, kemiskinan, tingginya jurang kaya-miskin yang terjadi saat ini sebenarnya produk dari persaingan antar ego yang mengeksploitasi IQ kepintaran manusia, hanya untuk hawa nafsu se-saat.

Setelah semua yang terjadi ini , perlahan manusia mulai menyadari perlunya menggunakan EQ dalam menata hubungan antar manusia dan kini kesadaran manusia mulai meningkat perlunya suatu pola hubungan interdependen dalam menata kehidupan, sehingga manusia merasa perlu menggunakan fakultas intelegensia yang tertinggi yaitu Spiritual Quotient (SQ).

Tuhan mengatakan dalam kitab suci, bahwa bumi beserta isinya sesungguhnya diciptakan untuk mampu mencukupi semua hajat hidup makhluk yang menghuninya, akan tetapi tidak cukup untuk memenuhi hajat hidup seorang manusia yang serakah, sehingga disini manusia sebenarnya harus meninggalkan budaya kompetisi, dan pada saatnya memenuhi panggilan Tuhan guna merengkuh budaya yang baru yakni kolaborasi.

Pencapaian manusia modern akan dunia materi telah memporak porandakan keseimbangan nature dan lingkungan hidup kita, apa yang dicari sebenarnya? Manusia terjebak kedalam keserakahan yang tidak ada habisnya, sementara yang dicarinya semakin jauh, bumi ini cuma satu dan hak semua ras manusia untuk hidup bersama, kalau hidup mau damai, tidak ada cara lain kecuali bekerjasama dengan lainnya, syaratnya kerjasama yang baik hanya satu, harus bersumber dari hati yang bersih, yakni kasih sayang.

Oleh karena itu ajang kompetisi sebaiknya di alihkan dari persaingan penguasaan materi yang serba terbatas, ke dunia non materi/spiritual yang tak terbatas, dan persaingan dilakukan oleh manusia melawan egonya sendiri, dan ini sebenarnya persaingan yang sengit dan besar kata nabi ini jihad akbar, biar yang menjadi korban dan disembelih adalah egonya masing2, sehingga sesuai seperti pesan nabi bersainglah kamu didalam kebaikan, yang tolok ukur keberhasilannya adalah kesalehan dan ketakwaan kepada Allah.