Selasa, 21 Oktober 2008

Tiga Kata



Tiga kata, ya hanya tiga kata yang bersumber dari sifat Tuhan cukup untuk membangun suatu peradaban.
Peradaban adalah suatu keteraturan, suatu tata krama dalam berhubungan dengan Tuhan sebagai sang Pencipta kehidupan, dengan alam semesta, bumi tempat kita berpijak dan dibuai dalam kasih sayang alam dan dengan sesama manusia.

Tanpa 3 kata itu , yang terjadi hanyalah kerusakan dan chaos, baik dialam fisik dan terutama dialam mental, dan itu sudah terjadi sekarang ini, persis seperti pertanyaan malaikat kepada Tuhan pada awal saat akan menciptakan ras manusia, yang akan membuat kerusakan dimuka bumi.

Bumi kita sekarang mengalami banyak krisis, mulai pemanasan global, moneter, ekonomi dan yang terparah adalah krisis kemanusiaan, itu karena kita kehilangan 3 kata tersebut.

Ketiga kata itu adalah salam, maaf dan terimakasih. Salam itu maknanya luas bukan sekadar berjabat tangan atau salam salaman, akan tetapi menuntut tindakan konkrit menyebarkan keselamatan bagi orang lain ,dengan cara memuliakannya.

Salam dalam arti yang lebih luas bisa juga berarti pasrah, tapi bukan pasrah dalam pengertian tidak berbuat apa-apa, pasrah fatalisme, pasrah disini diartikan tunduk sepenuhnya pada kehendak Tuhan, yang mewujud dalam hukum alam semesta, baik semesta fisik, semesta jasamani, semesta mental dan semesta jiwa, yang kesemuanya memiliki prinsip-prinsip kerja sendiri-sendiri, kelihatannya beda2 tapi semuanya dalam kesatuan yang harmonis.

Menolak bersikap pasrah dalam pengertian tersebut diatas, sebenarnya kita melawan diri sendiri dan yang terjadi kita sendiri yang konyol.

Salam berarti memuliakan, dimulai dengan kata kemudian menjalani kata-kata sampai kemudian kita merasakan berkah yang terkandung didalamnya.

Ibarat obat satu butir pil, tapi manjur dan mustajab dan menyembuhkan itulah salam.Tanpa salam tidak akan ada masyarakat, karena manusia akan saling memangsa homo homini lupus

Selanjutnya kata maaf, sorry, punten adalah ungkapan kerendahan hati bahwa sudah kodratnya kalau manusia itu ditakdirkan lemah dan sering alpa dan berbuat salah, meskipun sudah sepenuh diri kita menjalani hidup dengan penuh kehati-hatian,tetap saja tanpa disengaja ataupun tidak kita berbuat salah, itu karena tidak sepenuhnya kita bisa mengendalikan semesta diri kita.

Tanpa ada kata maaf yang terjadi hanyalah bara api yang akan membakar diri manusia dan menghancurkannya.
Kata maaf ini gampang mengucapkan cuma sulit melaksanakannya, saking sulitnya sampai-sampai Tuhan menjanjikan surga bagi mereka yang bisa memaafkan kesalahan oranglain, disamping itu sebenarnya memaafkan itu bukan untuk siapa-siapa tapi buat diri sendiri.

Kata yang ketiga adalah terimakasih, banyak kejadian buruk menimpa karena kita tidak berterimakasih atas apa yang kita terima, bumi kita rusak juga karena banyak manusia yang tidak pernah berterimakasih pada bumi.

Berterimakasih itu hakikatnya merayakan dan memuliakan segenap apa yang kita dapatkan dari Tuhan, manusia lain dan alam semesta, yang tiada lain berterima kasih pada diri kita sendiri.

Rabu, 01 Oktober 2008

Kemelekatan







Perjalanan manusia melintasi ruang dan waktu di alam materi menjadi suatu takdir bagi ruh manusia yang telah ditakdirkan Tuhan untuk mencari kesejatiannya.
Manusia adalah ruh yang menjasmani, paduan sempurna makhluk surga yang tinggi dan makhluk bumi yang rendah.Ibarat air bening bercampur dengan hitamnya bubuk lempung menjadi krya, patung, ia kehilangan jati dirinya bukan lagi ruh bukan juga tanah lempung, ia mengalami krisis identitas.

Pelintasan ruh dialam materi untuk kembali mengetahui identitas dirinya itu mengandung risiko ia tersesat karena terserap dan melekat kedalam materi..
Dalam kenyataan sosialnya, diri manusia menjadi lost in crowd , dirinya hanya menjadi noktah, digit atau unit komoditas dalam dunia bebas yang serba high tech sekarang ini.

Ritual shahadat ,shalat, zakat,puasa dan haji hakikatnya untuk menyadarkan manusia sebagai makhluk ruhani yang mulia.
Dengan menjalani puasa yang maknanya menahan diri, dimaksudkan agar manusia tidak hanyut dalam arus hedonisme dan materialisme yang begitu kuat mencengkeram kehidupan modern yang tiada habisnya. Menghentikan dorongan syahwat perut dan seksual.
Syahwat seksual mewujudkan dirinya menjadi narsisisme dan pergaulan yang serba permisif. Syahwat perut adalah semua kesenangan jasmani yang bias dipenuhi dengan uang dan uang yang menyuburkan perilaku koruptif .

Saat kita menahan diri dan berpuasa sebulan penuh itu hakekatnya kita sedang menahan arus itu, mengendapkannya dan menyortir perilaku hedonis dan materialistik itu, bila mungkin kita menjadi asketik agar eksistensi kita ada.
Idul fitri adalah makna pulangnya, atau kembalinya kita kerumah diri untuk menyaksikan kotoran dalam kedirian kita akibat perjalanan melintasi alam materialistik. Pembersihan diri untuk menyaksikan diri kita yang suci hanya dapat dicapai lewat penyadaran dan pengakuan bersalah dan dilanjutkan dengan penebusan redemption .Hanya dengan inilah kita meneguhkan bahwa kita ada.

Pembersihan jiwa dari kemelekatan atas dunia materi dilakukan dengan melaksanakan zakat untuk menghentikan tarikan syahwat yang menuntut sikap outside in karena alam materi yang serba scarcity terbatas.
Pembersihan jiwa dilakukan dengan meneguhkan kembali sikap inside out, karena khasanah jiwa melimpah adanya (abundant). Disini refleksi diri diaktualisasikan dengan sikap aku ada untuk kamu .Keberadaan diri itu hanya akan bermakna melalui pengakuan dan keterlibatan keberadaan orang lain.

Itu semua makna hakikat dari apa yang kita jalani dengan puasa, idul fitri dan zakat. Dalam prakteknya setan sungguh licik dan pintar menggoda dengan cara mengecoh, membelokkan dan bahkan mendangkalkan makna spiritual ibadah itu, sehingga dampaknya belum dapat mengangkat harkat diri kemanusiaan kita yang terjerumus dalam kemiskinan.

Dalam prakteknya kita melaksanakan ibadah itu hanya sebatas simbol , tarawih, tadarus, dan puasa hanya menjadi ritus penggugur kewajiban, sekadar polesan kosmetika seolah-olah kita sudah beragama, .Bahkan lebaran yang diikuti dengan silaturahim dan bermaaf maaf an hanya sekedar lip service, karena bahkan dengan orang yang baru kenal saja kita sudah maaf maaf an.

Zakat menjadi kegiatan karitatif artifisial yang kita sendiri pun mahfum tidak membantu sama sekali fakir miskin dari kemiskinan struktural yang menjepit kehidupannya.

Jeratan tradisi yang menyikapi keberagaman secara formal, dipenuhi symbol-simbol, dengan takbir, ketupat,salam salaman, mudik dst sudah semestinya diubah dan tidak berhenti disitu.

Jalaludin Rumi meminta kita untuk going beyond pergi melintasi yang serba bentuk menuju yang serba hakikat.Puasa yang hakekatnya menahan syahwat itu harus berlanjut dihari hari berikutnya sepanjang tahun, jangankan yang haram yang halal pun ditahan untuk dinikmati, semua ini dimaksudkan agar hidup menjadi tenteram dan sejahtera.
Zakatpun demikian bukan lagi tindakan temporer, karitatif filantropis dan sporadik, akan tetapi diwujudkan menjadi suatu gerakan sosial untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan menghapus kemiskinan.

Dengan sikap seperti itu maka hikmah shalat, zakat, puasa menjadi gerakan pemakmuran bumi dan perahmatan alam sebagaimana maksud Rasulullah diutus.
Walahua’lam bishawab.


Inspirer : Radhar Panca Dahana