Minggu, 09 Agustus 2009

Puisi mengenang Rendra


Oleh : Taufiq Ismail

Aku disambar berita halilintar kamis malam ketika bulan belum kelam.
Disini dirumah puisi diantara gunung Merapi dan gunung Singgalang.
Sampailah berita seorang sahabatku yang berpulang WS Rendra.

Dia penyair, dramawan, aktor, sutradara, seniman , budayawan, kritikus masyarakat
Seorang yang sangat cinta pada manusia, pada bangsanya, seorang yang tak bisa melihat
Salah urus dan penindasan.

Dalam puisi dan drama yang dia pentaskan dia tak peduli walau untuk itu ia masuk tahanan.

Willy telah 48 tahun terjalin persahabatan, sejak 1961 kita berteman, berdebat, bertukar fikiran, bertengkar, menggunting, menjahit dan menambal zaman.
Pergi kesana dan kemari panjang sudah perjalanan, kaki langit ternyata jauh dalam jangkauan.
Apa yang selalu sandal kita, rasa dalam injakan peluh, airmata, daki, kemarau ,angin dan taufan.

Willy, pada suatu hari cucuku Aidan dan Rania berkata, Datuk pilihkan dari Eyang Rendra puisi cintanya.
Saya memandang cucu-cucu saya, pilihanmu untuk puisi-puisi cinta pada Eyang Rendra alangkah tepatnya.
Dengarkan ini satu berjudul Stanza Datuk bacakan :

Ada burung dua jantan dan betina hinggap didahan,
Ada daun tua tidak jantan tidak betina gugur didahan,
Ada angin dan kapuk dua-dua sudah tua, pergi ke selatan,
Ada burung ,daun,kapuk,angin,dan mungkin juga debu mengendap dalam nyanyiku.

Mendengar puisi cinta eyang Rendra itu betapa senangnya hati cucu-cucuku

Willy ! mendengar kau sakit dibulan Juli, pergilah aku dan istriku Ati, menjenguk kau yang terbaring sendiri, ditemani Clara, Ken sedang pulang,
Diruang gawat darurat di rumah sakit ini, bersama Amaq Baldjun dan Jose Rizal Manua, kau telentang ditempat tidur, jarum infuse ditangan, kau tidak boleh banyak bicara, tapi Willy, kau gembira sekali, banyak bicara begitu begini, tentang penyakit dari jantung hingga ke ginjal, kau sebenarnya tak bpoleh banyak bicara, tapi siapa yang bisa mencegahmu bicara.

Akhirnya aku ajak kita berdoa bersama, sementara berdoa kita mengangis pula, siapa yang bisa mencegah titiknya air mata. Selesai berdoa aku dan Ati permisi pergi, kita berpelukan dan bertangisan.

Sampai diujung tempat tidur, kau panggil kami Fiq ! jangan pergi ! jangan pergi!, aku kembali, doa kita ulangi lagi, airmata makin bercucuran, rupanya itulah pelukan penghabisan.Duapuluh empat hari kemudian, engkau pergi memenuhi panggilan.

Willy! Perjalanan kau terakhir, seindah-indah perjalanan, dihari nisfu Sya’ban menjelang Ramadhan, penuh baraqah bacaan Qur’an.
Dimalam Jum’at kau berangkat, besoknya sesudah selesai jamaah bershalat juma’at, betapa banyaknya orang-orang yang berduka di Cipayung mengantar kau ke pemakaman, betapa tinggi makna ini peristiwa, bahkan inilah kehormatan luar biasa kepergian kau kea lam baqa, tanpa rencana jadilah ia upacara.

Betapa dalam hikmah yang sebenarnya, dapatkah tertangkap oleh mata yang fana.
Selamat jalan sahabat, juru bicara artistic kami, urusan kau bukan semata-mata keindahan estetika, tapi jauh lebih dari itu, seperti yang tulis tujuh tahun yang lalu, dalam sajakmu Do’a Untuk Anak Cucu:

Ya Allah kami dengan cemas menunggu kedatangan burung dara, yang membawa ranting zaitun dikaki bianglala kami bersujud dan berdoa, isinya persis seperti do’aku ini.;
Lindungilah anak cucuku, lindungilah daya hidup mereka, ya Allah satu-satunya Tuhan kami sumber dari hidup kami ini, kuasa yang tanpa tandingan, tempat tumpuan dan gantungan, tak ada samanya diseluruh semesta raya. Allah, Allah, Allah,Allah

Selasa, 04 Agustus 2009

Belajar Mengaku Kalah

Ini saya cuplik tulisan Gus Solah ( Salahuddin Wahid), supaya kita punya pemimpin yang berhati legowo, yang kasihan sama rakyat.

" Ratusan juta orang di seluruh dunia mengikuti proses Pemilihan Presiden AS 2008 melalui televisi. Mendengar pidato kekalahan McCain, semua takjub. Mengagumi kebesaran jiwanya dan terpesona isi pidato kekalahannya yang menyentuh hati. Substansi pidato itu tidak kalah

dibandingkan pidato kemenangan Obama.

Kata McCain, ”Malam ini amat berbeda dengan malam-malam sebelumnya, tidak ada dalam hati saya, kecuali kecintaan saya kepada negeri ini dan kepada seluruh warga negaranya, apakah mereka mendukung saya atau Senator Obama. Saya mendoakan orang yang sebelumnya adalah lawan saya, semoga berhasil dan menjadi presiden saya.”

Al Gore ”versus” Bush

Penghitungan suara Pilpres 2000 (Wapres Al Gore melawan Bush) amat dramatis. Hasil penghitungan suara secara nasional hampir selesai dan siapa pemenangnya bergantung pada penghitungan suara di Florida, yang gubernurnya adalah adik capres Bush. Suara Bush: 2.909.171, suara Gore: 2.907.387. Selisihnya amat kecil: 1.784 suara.

Tim kampanyenya berhasil mencegah Al Gore yang sedang dalam perjalanan untuk mengakui kekalahan di depan publik. Mereka berusaha keras agar dapat di lakukan penghitungan ulang di seluruh Florida. Maka, dimulailah proses hukum yang menegangkan, yang memakan waktu beberapa pekan hingga melibatkan MA Florida dan MA Amerika Serikat.

Pemilihan menggunakan mesin yang ternyata hasil coblosannya sering tidak jelas kalau tidak cukup kuat menekannya. Perdebatan terjadi tentang standar coblosan yang bisa diakui sebagai tanda bahwa si pemilih telah menentukan pilihannya.

Sempat dilakukan penghitungan ulang untuk sejumlah county dan selisih suara menurun tinggal 327 suara. Terjadi tekanan massa pendukung Bush untuk menghentikan proses penghitungan ulang di sebuah county. Lalu, ada perintah untuk menghentikan penghitungan ulang.

Tim Al Gore masih tetap ingin berjuang. Al Gore menelepon ketua tim untuk menghentikan perjuangan itu. Salah satu kalimat Al Gore amat menarik: ”Kalaupun aku menang (dalam penghitungan suara), rasanya aku tidak menang (dalam pengertian lebih luas). Ayahku mengatakan bahwa kekalahan dan kemenangan itu dibutuhkan untuk memuliakan jiwa kita.”

Lalu, Al Gore tampil dalam acara TV bersama Bush yang ada di tempat lain untuk mengakui kekalahan dan menyampaikan selamat kepada Bush. Tidak ada protes atau demo pendukung Al Gore. Ternyata Al Gore betul, dia menerima hadiah Nobel, sedangkan Bush dianggap sebagai salah satu Presiden AS terburuk.

Jesse Owens dan Hitler

Ada kisah menarik pada Olimpiade 1936 di Berlin tentang Jesse Owens, atlet terbesar AS berkulit hitam, pemegang rekor dunia untuk lari 100 meter dan 200 meter. Jerman mempunyai atlet hebat yang bisa menjadi saingan berat Jesse Owens.

Pertarungan antara atlet Jerman dan Owens akan menjadi atraksi paling bergengsi. Karena itu, Hitler memompa semangat atlet Jerman itu. Hitler yang rasis menyatakan, Owens seorang negro yang tidak sepadan dengan atlet Jerman yang berdarah Aria, ras terunggul di dunia. Dia mengatur agar penonton mendukung si atlet Jerman dengan menyoraki Owens agar emosinya terganggu dan kalah.

Ternyata Owens tampil sebagai juara. Hitler tidak dapat menerima kekalahan itu dan tidak bersedia memberikan selamat kepada Owens. Si atlet Jerman yang kalah ternyata bukan rasis dan punya sportivitas tinggi. Dia berani menghampiri dan memberikan selamat kepada Owens di depan Hitler dan puluhan ribu penonton.

Kondisi Indonesia

Bandingkan tiga hal di bagian awal tulisan ini dengan apa yang terjadi di Indonesia. Pidato kekalahan memang belum menjadi tradisi di sini. Namun, mengucapkan selamat meski tidak langsung bertemu, cukup dengan telepon atau melalui pers, sudah merupakan suatu teladan yang baik bagi masyarakat.

Saya tidak tahu apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah sempat bertemu dan berjabat tangan dengan Megawati Soekarnoputri pasca-Pilpres 2004. Namun, kita tahu, Taufik Kiemas telah menjalin komunikasi langsung dengan Presiden Yudhoyono. Pak Habibie, tanpa beban datang ke Istana menemui Presiden Yudhoyono. Gus Dur menghadiri upacara peringatan 17 Agustus 2008 dan bersilaturahim Idul Fitri ke Istana Merdeka.

Yang paling parah adalah terjadinya konflik fisik di antara pendukung pasangan calon gubernur di Maluku Utara (Malut). Tak terdengar adanya upaya dari kedua cagub untuk meredam emosi para pendukung. Meski menganggap tidak sah penetapan dan pelantikan Gubernur Malut oleh Mendagri, akan baik jika pihak yang kalah dengan legowo menerima kekalahan dan mengucapkan selamat kepada pemenang. Setelah itu melakukan rekonsiliasi di antara kedua kelompok pendukung.

Menanamkan kesadaran

Kisah Owens dan Al Gore saya dapatkan melalui film. Perlu digali dan disosialisasikan kisah tentang mereka yang kalah bertanding dalam bidang apa pun (politik, olahraga, dan ilmu) yang menunjukkan bagaimana cara menjadi pihak yang kalah secara terhormat, terutama di Indonesia.

Adang Daradjatun berani mengakui kekalahannya dalam pemilihan gubernur DKI di depan pers. Seusai menghadiri sidang untuk mendengarkan pembacaan putusan penolakan MK terhadap gugatan pasangan Wiranto-Wahid tentang hasil penghitungan suara KPU, di depan wartawan saya menyampaikan selamat kepada pasangan SBY-JK dan Mega-Hasyim. Tentu masih banyak lagi contoh lainnya.

Sejak kecil perlu ditanamkan kesadaran, jika sudah kalah dan mengaku kalah, itu terhormat, tidak memalukan atau mencemarkan nama baik. Tindakan itu justru menunjukkan kebesaran jiwa, kedewasaan, dan sikap ksatria. Bayangkan apa jadinya jika Al Gore tetap ngotot dan tidak mau mengaku kalah.

Baik sekali jika dalam Pilpres 2009, capres yang kalah menyampaikan pidato kekalahan. Lalu, tradisi itu diikuti cagub dan cabup. Namun, tradisi itu perlu diikuti proses pemilihan calon yang pertimbangan utamanya bukan uang dan pelaksanaan pemilihannya bersih dan jurdil. Tanpa itu, pengakuan kalah kurang bermakna.

Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng

Menjadi Negarawan ....

saya mengutip tulisan bung Asro Kamal Rokan dari KBN Antara Minggu, 12 Juli 2009 begini katanya:

Alhamdulillah pemilihan presiden berjalan aman, tertib, dan demokratis. Rakyat telah memutuskan memilih satu dari tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dalam penghitungan di tempat pemungutan suara, rakyat pun telah mengetahui hasilnya dan memahami hakikat dari pemilihan – ada kalah dan ada yang menang.

Situasi yang aman dan tertib ini sumbangan terbesar rakyat pada bangsa dan demokrasi yang sedang tumbuh. Para calon presiden – yang menang dan yang kalah setelah keputusan final Komisi Pemilihan Umum (KPU) nanti -- harus berterima kasih pada rakyat yang ikhlas, rakyat yang diam, dan tanpa pamrih itu.

Melalui pemilihan yang tertib dan berkualitas ini, rakyat telah pula mempromosikan harkat dan martabat bangsa ini di dunia internasional. Mereka telah mensejajarkan bangsa dan negara ini dalam deretan negara-negara maju dalam demokrasi. Itulah cara rakyat mengangkat kebanggaan bangsa, yang sempat terpuruk ketika dilanda kerusuhan Mei 1998 lalu.

Setelah rakyat memperlihatkan keikhlasannya dan mengangkat martabat bangsa ini, bagaimana dengan tiga calon yang berkompetisi? Hasil quick count dan hitungan sementara KPU menempatkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono- Boediono meraih suara terbanyak, jauh melebihi Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, dan Jusuf Kalla-Wiranto.

Hasil ini, meski secara resmi menunggu hitungan final KPU, namun telah dapat menjelaskan bahwa pilpres ini hampir pasti dimenangkan pasangan SBY-Boediono.

Dan, Alhamdulillah. Sehari setelah pilpres, SBY dan JK melakukan komunikasi. JK mengucapkan selamat kepada SBY. Sebaliknya, SBY memuji jasa besar JK terhadap negara dan negara masih membutuhkan JK. ”Masyarakat bisa melihat bahwa adakalanya berkompetisi bisa keras, namun tali silaturahim tetap terjalin. Inilah demokrasi yang semakin matang dan dewasa,’’ kata SBY kepada pers.

Bangsa besar ini bangga memiliki kedua pemimpin tersebut, pemimpin yang sadar kepentingan bangsa jauh lebih besar daripada memelihara kemarahan, apalagi dendam. Keduanya pun sadar bahwa para pendukung mereka justru bisa berdamai dan menjalankan hidup seperti semula. Tidak ada konflik dan semua berjalan damai. Inilah sisi indah demokrasi, yang baru tumbuh di negara besar ini.

Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan Hamka bertahun-tahun di penjara oleh Soekarno karena politik, tanpa proses pengadilan. Namun tokoh-tokoh besar itu memaafkan Soekarno. Mantan Presiden BJ Habibie langsung menyalami Abdurrahman Wahid, presiden yang dipilih MPR, menggantikannya. Keduanya tidak memutuskan silaturahim.

Saya ingat ketika itu: Rabu, 20 Oktober 1999, Pak Habibie hadir pada pelantikan Gus Dur sebagai presiden di Gedung MPR. Sehari sebelumnya, pidato pertanggungjawaban Pak BJH ditolak MPR dengan perbedaan suara tipis. Pendukung Pak BJH merasa dikhianati dan meminta Pak BJH terus maju. Namun, Pak BJH tidak bersedia. Ia justru meminta semua pendukungnya menjaga kedamaian dan mendukung presiden yang terpilih.

Usai pelantikan, sebagai wartawan yang telah lama mengenal Pak BJH, saya menemuinya turun dari lift lobi Gedung MPR. Saya memeluknya dan menyatakan rasa hormat atas sikapnya. Pak Habibie dengan tenang berkata, ''Gus Dur dan Megawati dipilih secara demokratis. Dukunglah mereka, saya percaya mereka akan membawa kemajuan bangsa ini.''

Suara Pak BJH terasa merdu di telinga saya. Setelah itu bersama Ibu Ainun, ia melangkah menuju mobil yang tidak lagi berplat RI-1. Pak BJH melambaikan tangannya kepada semua orang yang melepasnya dengan berbagai perasaan dan kesedihan. Negarawan itu melangkah dengan tegap. Ia tidak merasa dikalahkan, karena ia ikhlas dan tahu bahwa segala sesuatu adalah kehendak Allah.

Lima tahun setelah itu, 20 Oktober 2004, rakyat berharap Megawati Soekarnoputri melakukan hal yang sama terhadap Susilo Bambang Yudhoyono, yang dipilih dalam pemilihan langsung. MPR telah mengirimkan undangan, namun Megawati yang kalah pada pemilihan itu, tidak datang. Sebagai presiden terpilih, Pak SBY telah berupaya menjalin silaturrahim dengan mantan presiden tersebut, namun tidak ada respon.

Keduanya bertemu ketika pengundian nomor calon presiden, akhir Mei lalu. Mereka bersalaman. Pers menempatkan peristiwa langka itu sebagai berita utama. Namun, sebagian rakyat dapat merasakan bahwa peristiwa tersebut sebagai formalitas belaka, tidak benar-benar sebagai keinginan.

Pak Jusuf Kalla telah mengucapkan selamat pada Pak SBY. Ini indah. Pak JK telah melanjutkan tradisi para negarawan sebelumnya – orang-orang yang ikhlas, tidak dendam, dan tidak menempatkan kekuasaan sebagai tujuan. Orang-orang ikhlas memberikan jalan kepada yang lebih berhak, bukan penghadang. Pak JK negawaran. Seorang negarawan akan tetap dihormati, dikenang, dan dirindukan.

Dan, Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto -- yang lahir dari para negarawan besar bangsa ini -- kita harap pada saatnya, melakukan hal yang sama. Mereka dapat menjadikan bangsa ini indah ... (*)

Indonesia memerlukan budaya ekonomi baru

Rhenald Khasali dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar FE UI, mengatakan :Budaya ekonomi yang melekat pada masyarakat, dunia usaha, dan pemimpin negara di Indonesia saat ini dinilai sudah tidak adaptif terhadap perubahan yang terjadi pada pasar global sehingga akhirnya bangsa ini terus-menerus mengalami krisis.

Untuk itu, dibutuhkan transformasi nilai-nilai budaya ekonomi yang harus didorong dan dimulai dari pemimpin negara.

”Krisis yang terjadi berulang-ulang mencerminkan lemahnya kendali manajerial dalam pelaksanaan kebijakan. Tidak adanya pembelajaran yang diambil, lemahnya penerapan knowledge management, dan kurang kuatnya leadership dalam sistem perekonomian negara,” ujar Rhenald.

Kelemahan tersebut harus diisi dengan perencanaan strategis yang didukung dengan konsepsi manajemen modern yang dilandasi tata nilai, budaya ekonomi, dan core belief.

Itu semua akan membuat bangsa mampu beradaptasi dalam menghadapi berbagai perubahan yang semakin hari semakin berat, lebih variatif, dan datang lebih cepat.

Rhenald mengatakan, krisis yang datang terus-menerus, terakhir krisis 2008-2009, menunjukkan tidak siapnya manusia Indonesia di semua lini dalam menghadapi perubahan.

Perubahan dipandang lebih sebagai sebuah ancaman yang harus dilawan dan dihindari, bukan untuk dihadapi.

”Pengalaman menunjukkan, krisis justru terjadi pada saat manusia tidak mau atau enggan beradaptasi. Pada akhirnya, krisis memaksa manusia untuk berubah,” katanya.

Menurut Rhenald, saat ini perekonomian global, termasuk Indonesia, dipenuhi orang-orang yang hanya mengandalkan kemampuan teknis, tanpa dibekali keyakinan dan nilai-nilai baik.

Akibatnya, perekonomian dikendalikan oleh keserakahan, di mana pelaku ekonomi kerap mengambil jalan pintas untuk mengumpulkan keuntungan sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Nilai-nilai negatif

Kesuksesan hanya melulu diukur dari materi dan kedudukan yang diperoleh. Faktor inilah yang kemudian mendorong terjadinya krisis keuangan global.

Dari kajiannya, Rhenald mengemukakan, ada 10 nilai budaya ekonomi yang negatif, yakni budaya jalan pintas, budaya konflik, budaya saling curiga, budaya mencela, budaya foto-foto, budaya pengerahan otot massa, tidak tahu malu, popularisme, budaya prosedur, dan budaya menunda.

Budaya konflik terjadi karena adanya paradigma yang memandang kompetisi sebagai agresi. Padahal, dalam kompetisi diperlukan pula kerja sama

Adapun budaya foto-foto, tutur Rhenald, diartikan sebagai budaya yang hanya mementingkan diri sendiri, tanpa melihat kondisi lingkungannya secara menyeluruh. (FAJ)