Selasa, 01 September 2009

Hikmah Ramadhan



Kyai Haji Mustofa Bisri, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Mus, beliau menulis mengenai hikmah Ramadhan, yang indah sekali penggambarannya sebagai berikut :

Sebagai hamba Allah SWT yang telah berikrar, sebenarnya apa pun perintah-Nya, kita tidak perlu dan tidak pantas bertanya-tanya mengapa, untuk apa?. Hamba yang baik justru senantiasa ber-husnuzhzhan, berbaik sangka kepada-Nya. Allah SWT memerintahkan atau melarang sesuatu, pastilah untuk kepentingan kita.


Karena Allah SWT Maha Kaya, tidak memiliki kepentingan apa pun. Ia mulia bukan karena dimuliakan; agung bukan karena diagungkan; berwibawa bukan karena ditunduki. Sejak semula Ia sudah Maha Mulia, sudah Maha Agung, sudah Maha Kaya, sudah Maha Berwibawa. Kalau kemudian Ia menjelaskan pentingnya melaksanakan perintah-Nya atau menjauhi larangan-Nya, semata-mata karena Ia tahu watak kita yang suka mempertanyakan, yang selalu menonjolkan kepentingan sendiri.

Maka, sebelum kita mempertanyakan mengapa kita diperintahkan berpuasa, misalnya, Allah SWT telah berfirman:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

(Q. 2. Al-Baqarah: 183)

"Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa atas kalian sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa."

Jadi, puasa yang diwajibkan sejak dulu kepada kaum sebelum kita, bertujuan utama: agar kita manusia ini bertakwa. Takwa adalah kondisi puncak hamba Allah. Hamba mukmin di dunia ini, dalam proses menuju ketakwaan kepada Allah SWT. Karena semua kebaikan hamba di dunia dan kebahagiaannya di akhirat, kuncinya adalah ketakwaan kepada-Nya. Mulai dari pujian Allah SWT, dukungan dan pertolongan-Nya, penjagaan-Nya, pengampunan-Nya, cinta-Nya, limpahan rejeki-Nya, pematutan amal dan penerimaan-Nya terhadapnya; hingga kebahagiaan abadi di sorga, ketakwaanlah kuncinya. (Baca misalnya, Q.3: 76, 120, 133, 186; Q.5:27; Q. 16: 128; Q. 19: 72; Q. 39: 61; Q. 65: 2-3; Q. 33: 70-71; Q. 49: 13).

Itu garis besarnya. Apabila kebahagiaan yang dicari manusia, itulah kuncinya. Kunci dari Sang Pencipta manusia dan kebahagiaan itu sendiri. Seringkali, manusia merasa mengerti dan tahu jalan menuju kebahagiaan. Mengabaikan tuntunan Tuhannya. Ternyata tersesat. Akhirnya, kebahagiaan yang dicari, kesengsaraan yang didapat. Di zaman modern ini misalnya, banyak orang menganggap kebahagiaan bisa didapat dari materi dan orang pun berlomba-lomba mengejar materi. Seringkali, sampai “kaki dijadikan kepala, kepala dijadikan kaki”. Ujung-ujungnya, karena materi ternyata tidak kunjung memberi kebahagiaan, mereka pun lari kepada yang lebih mudarat lagi: mengonsumsi obat-obatan. Narkoba.

Untunglah, Allah menyediakan satu bulan, bulan suci, dimana kita diberi kesempatan untuk melakukan muhasabah yang lebih intens. Kita diberi anugerah luar biasa yang namanya p u a s a. Di bulan Ramadan di mana kita berpuasa, ritme dan gaya hidup kita berubah. Jadwal makan pun berubah dengan satu kelebihan: kita memenuhinya dengan teratur. Maka, banyak kalangan ahli yang kemudian mengaitkan puasa dengan kesehatan, merujuk sabda Nabi kita, “Shuumuu tashihhuu”, (Berpuasalah kalian, maka kalian akan sehat).

Dengan berpuasa, tidak hanya makan-minum kita menjadi teratur; malah para ahli mengatakan bahwa puasa dapat membersihkan dari tubuh kita, unsur-unsur buruk yang membuat kita sakit.

Jadi, puasa bulan Ramadan, bukan saja dianugerahkan Allah bagi kepentingan ruhaniah, tapi juga jasmaniah kita. Atau dengan kata lain, Allah menganugerahkan kepada kita puasa sebagai sarana menyempurnakan diri. Jasmaniah dan ruhaniah. Kalau ungkapan “Al-‘aqlus saliim fil jismis saliim” menyiratkan pentingnya menjaga kesehatan jasmani agar akal menjadi sehat, maka puasa justru memberi peluang kepada kita untuk sekaligus meraih keduanya.

Dengan puasa, hamba Allah digembleng untuk menjadi manusia yang benar-benar sehat luar dalam yang selalu mengingat Sang Penciptanya. Bukan manusia penyakitan yang gampang lupa kepada Tuhannya. Orang yang lupa Tuhannya, seperti difirmankanNya sendiri dalam kitab sucinya al-Quran, dibuat lupa kepada dirinya sendiri.(Q. 59: 19).

Mari kita sikapi bulan Ramadan dengan segala suasana khusyuknya ini dengan sebaik-baiknya. Berpuasa sesuai aturan dan dengan merenungkan hikmah-hikmahnya. Kita penuhi saat-saatnya dengan meningkatkan amal ibadah yang tidak hanya bersifat ritual mahdhah. Dan dalam hal ini, perlu kita waspadai jebakan si serakah industri, termasuk dan utamanya industri pertelevisian, yang lagi-lagi memanfaatkan momentum bulan suci untuk mengeruk keuntungan materi dan membedaki tujuan komersialnya dengan pupur religi. Selamat Beribadah!