Senin, 08 Juni 2009

Sufi Memandang Kekuasaan


Khazanah tasawuf mengenal sebuah kitab sufi klasik berjudul Kasyful Mahjub. Kitab ini ditulis oleh al-Hujwiri yang hidup pada abad kelima Hijriyah. Dari segi fikih, al-Hujwiri mengikuti Imam Abu Hanifah. Dalam Kasyful Mahjub, al-Hujwiri banyak bercerita tentang kisah gurunya itu.


Abu Hanifah hidup pada masa kekuasaan Khalifah al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah. Pada suatu saat, khalifah bermaksud untuk mengangkat seseorang sebagai Hakim Agung, waktu itu disebut dengan gelaran Qadi. Sezaman dengan Abu Hanifah, hidup pula tiga orang ulama besar lain, yaitu Sufyan al-Tsauri, Mis’ar bin Qidam dan Syuraih. Khalifah al-Mansur ingin memilih salah satu dari para ulama ahli fikih di kerajaannya untuk dijadikan Qadi.

Mereka pun dipanggil ke istana. Ketika keempat ulama itu berjalan bersama ke istana untuk memenuhi undangan khalifah, Abu Hanifah berpikir untuk menyusun sebuah rencana yang sungguh menarik. Keempat ulama itu memutuskan untuk menolak permintaan khalifah. Mereka membicarakan bagaimana caranya menolak permohonan itu tanpa menyinggung perasaan khalifah. Mau tidak mau, salah seorang di antara mereka harus menjadi hakim agung. Bila semua menolak, bencana akan mengancam mereka karena khalifah al-Mansur terkenal sebagai penguasa tiran yang sangat keras. Kepada ketiga ulama lain, Abu Hanifah mengemukakan rencananya,“Aku akan menolak jabatan itu dengan caraku sendiri. Aku minta Mis’ar untuk berpura-pura gila; Sufyan untuk melarikan diri; dan Syuraih-lah yang akan dijadikan Qadi”.

Sufyan al-Tsauri pun kabur ke sebuah pelabuhan dan bersembunyi di bawah kapal yang akan berlayar. Ketiga ulama lainnya berangkat menuju istana khalifah. Sesampainya di tempat itu, al-Mansur berkata kepada Abu Hanifah, “Engkaulah yang harus menjadi hakim agung!” Abu Hanifah menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, aku bukanlah seorang Arab melainkan hanya sahabat orang-orang Arab. Pemimpin-pemimpin Arab tidak akan menerima keputusan hakim agung seperti aku”. Abu Hanifah berkata demikian karena ia berasal dari Persia, sementara al-Mansur adalah keturunan dari Abbas, paman Rasulullah. Dengan mengemukakan alasan itu, ia meminta agar al-Mansur tidak mengangkatnya sebagai Qadi.

Al-Mansur berkata, “Jabatan ini tidak ada hubungannya dengan garis keturunan. Yang dibutuhkan dalam jabatan ini adalah ilmu dan engkau adalah ulama paling terkemuka di zaman ini”. Abu Hanifah tetap mempertahankan alasannya dan berkata bahwa ia tidak cocok untuk jabatan setinggi itu. Al-Mantsur menjawab bahwa keberatan Abu Hanifah itu tak lain hanyalah kebohongan untuk menutupi ketidaksediaannya. Abu Hanifah berkata,“Jika kukatakan bahwa aku tidak cocok untuk jabatan itu dan engkau mengatakan bahwa ucapanku adalah sebuah kebohongan, tentu tidak dibenarkan seorang hakim agung dari kaum Muslimin untuk berbohong. Tidak benar pula mempercayakan kepada seseorang yang kau sebut sebagai pembohong, kehidupan, kekayaan dan kehormatan yang kau miliki”. Abu Hanifah pun berhasil mengelak dari jabatan hakim agung.

Setelah itu, Mis’ar bin Qidam tampil ke muka dan menjabat tangan Khalifah al-Mansur, seraya berkata,“Apa kabarmu dan kabar anak-anak serta hewan ternak piaraanmu?” Ulama itu mengatakan hal ini kepada sang penguasa tanpa sopan santun sama sekali. Ia menampakkan bahwa perbuatannya itu dilakukan di luar kesadarannya. “Keluarkan orang ini!” teriak al-Mansur, “ia sudah gila!”.

Tinggallah seorang ulama lagi. Syuraih pun diberitahu bahwa ialah yang harus mengisi kekosongan jabatan Qadi. Seperti dua orang temannya yang lain, ia pun mengajukan keberatannya sendiri,“Aku ini mudah sedih dan senang melucu. Orang yang penyedih dan suka bercanda tidak layak menjadi hakim agung”. Khalifah al-Mansur meminta ia untuk meminum obat agar pikirannya pulih kembali. Akhirnya, Syuraih diangkat menjadi Qadi. Sejak Syuraih menjadi Qadi, Abu Hanifah tak pernah lagi berbicara kepadanya sepatah kata pun dan tak pernah berkunjung ke rumahnya sekali pun.

Dari kisah ini, tersimpuh pelajaran yang amat berharga, yakni bagaimana para ulama besar berusaha untuk menolak jabatan tinggi di dalam pemerintahan. Demi menjauhi kekuasaan, mereka melakukan segala cara. Sufyan al-Tsauri, seorang fakih besar yang pada zamannya dianggap pendiri mazhab al-Tsauri, memilih untuk melarikan diri meninggalkan keluarga dan tanah airnya untuk menghindari jabatan. Ia baru kembali setelah Syuraih diangkat menjadi Qadi. Abu Hanifah berusaha dengan keras menolak perintah khalifah dan Mis’ar bin Qidam berpura-pura sakit ingatan untuk mengelak permintaan al-Mantsur.

Al-Hujwiri menutup cerita itu dengan menulis,“Kisah ini tidak saja menunjukkan kebijaksanaan Abu Hanifah, tetapi juga keteguhannya di dalam kebenaran dan tekadnya untuk tidak membiarkan dirinya dibuai dalam keinginan untuk mencari kemegahan dan popularitas. Lebih jauh, hal ini merupakan pembenaran bagi malamatiyyah. Malamatiyyah adalah satu konsep di dalam tasawuf di mana seorang sufi berusaha untuk menunjukkan kejelekkan dirinya sehingga orang tidak menilainya berlebih-lebihan. “Kelakuan Abu Hanifah amat berbeda dengan perbuatan para ulama sekarang. Mereka menjadikan istana para sultan sebagai kiblat mereka dan rumah para penjahat sebagai puri mereka.”

Kalimat-kalimat ini sangat menarik, karena ditulis al-Hujwiri pada abad kelima Hijriyah, seribu tahun yang lalu. Namun, ketika membaca ucapan al-Hujwiri, seakan-akan al-Hujwiri berkisah tentang keadaan saat ini. Hari ini, ada banyak tayangan para ulama yang berkiblat kepada istana para penguasa negeri ini. Dan ulama seperti Abu Hanifah, demi mempertahankan integritas dan kepribadiannya, mampu menolak jabatan, setinggi apa pun kekuasaan itu. Sebuah kerinduan akan ulama yang memilih kesucian hati ketimbang keindahan rumah mereka.

dikutip dari tulisan: Muhammad Soffa Ihsan
Penulis adalah Redaktur Pelaksana Majalah MataAir