Selasa, 04 Agustus 2009

Menjadi Negarawan ....

saya mengutip tulisan bung Asro Kamal Rokan dari KBN Antara Minggu, 12 Juli 2009 begini katanya:

Alhamdulillah pemilihan presiden berjalan aman, tertib, dan demokratis. Rakyat telah memutuskan memilih satu dari tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dalam penghitungan di tempat pemungutan suara, rakyat pun telah mengetahui hasilnya dan memahami hakikat dari pemilihan – ada kalah dan ada yang menang.

Situasi yang aman dan tertib ini sumbangan terbesar rakyat pada bangsa dan demokrasi yang sedang tumbuh. Para calon presiden – yang menang dan yang kalah setelah keputusan final Komisi Pemilihan Umum (KPU) nanti -- harus berterima kasih pada rakyat yang ikhlas, rakyat yang diam, dan tanpa pamrih itu.

Melalui pemilihan yang tertib dan berkualitas ini, rakyat telah pula mempromosikan harkat dan martabat bangsa ini di dunia internasional. Mereka telah mensejajarkan bangsa dan negara ini dalam deretan negara-negara maju dalam demokrasi. Itulah cara rakyat mengangkat kebanggaan bangsa, yang sempat terpuruk ketika dilanda kerusuhan Mei 1998 lalu.

Setelah rakyat memperlihatkan keikhlasannya dan mengangkat martabat bangsa ini, bagaimana dengan tiga calon yang berkompetisi? Hasil quick count dan hitungan sementara KPU menempatkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono- Boediono meraih suara terbanyak, jauh melebihi Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, dan Jusuf Kalla-Wiranto.

Hasil ini, meski secara resmi menunggu hitungan final KPU, namun telah dapat menjelaskan bahwa pilpres ini hampir pasti dimenangkan pasangan SBY-Boediono.

Dan, Alhamdulillah. Sehari setelah pilpres, SBY dan JK melakukan komunikasi. JK mengucapkan selamat kepada SBY. Sebaliknya, SBY memuji jasa besar JK terhadap negara dan negara masih membutuhkan JK. ”Masyarakat bisa melihat bahwa adakalanya berkompetisi bisa keras, namun tali silaturahim tetap terjalin. Inilah demokrasi yang semakin matang dan dewasa,’’ kata SBY kepada pers.

Bangsa besar ini bangga memiliki kedua pemimpin tersebut, pemimpin yang sadar kepentingan bangsa jauh lebih besar daripada memelihara kemarahan, apalagi dendam. Keduanya pun sadar bahwa para pendukung mereka justru bisa berdamai dan menjalankan hidup seperti semula. Tidak ada konflik dan semua berjalan damai. Inilah sisi indah demokrasi, yang baru tumbuh di negara besar ini.

Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan Hamka bertahun-tahun di penjara oleh Soekarno karena politik, tanpa proses pengadilan. Namun tokoh-tokoh besar itu memaafkan Soekarno. Mantan Presiden BJ Habibie langsung menyalami Abdurrahman Wahid, presiden yang dipilih MPR, menggantikannya. Keduanya tidak memutuskan silaturahim.

Saya ingat ketika itu: Rabu, 20 Oktober 1999, Pak Habibie hadir pada pelantikan Gus Dur sebagai presiden di Gedung MPR. Sehari sebelumnya, pidato pertanggungjawaban Pak BJH ditolak MPR dengan perbedaan suara tipis. Pendukung Pak BJH merasa dikhianati dan meminta Pak BJH terus maju. Namun, Pak BJH tidak bersedia. Ia justru meminta semua pendukungnya menjaga kedamaian dan mendukung presiden yang terpilih.

Usai pelantikan, sebagai wartawan yang telah lama mengenal Pak BJH, saya menemuinya turun dari lift lobi Gedung MPR. Saya memeluknya dan menyatakan rasa hormat atas sikapnya. Pak Habibie dengan tenang berkata, ''Gus Dur dan Megawati dipilih secara demokratis. Dukunglah mereka, saya percaya mereka akan membawa kemajuan bangsa ini.''

Suara Pak BJH terasa merdu di telinga saya. Setelah itu bersama Ibu Ainun, ia melangkah menuju mobil yang tidak lagi berplat RI-1. Pak BJH melambaikan tangannya kepada semua orang yang melepasnya dengan berbagai perasaan dan kesedihan. Negarawan itu melangkah dengan tegap. Ia tidak merasa dikalahkan, karena ia ikhlas dan tahu bahwa segala sesuatu adalah kehendak Allah.

Lima tahun setelah itu, 20 Oktober 2004, rakyat berharap Megawati Soekarnoputri melakukan hal yang sama terhadap Susilo Bambang Yudhoyono, yang dipilih dalam pemilihan langsung. MPR telah mengirimkan undangan, namun Megawati yang kalah pada pemilihan itu, tidak datang. Sebagai presiden terpilih, Pak SBY telah berupaya menjalin silaturrahim dengan mantan presiden tersebut, namun tidak ada respon.

Keduanya bertemu ketika pengundian nomor calon presiden, akhir Mei lalu. Mereka bersalaman. Pers menempatkan peristiwa langka itu sebagai berita utama. Namun, sebagian rakyat dapat merasakan bahwa peristiwa tersebut sebagai formalitas belaka, tidak benar-benar sebagai keinginan.

Pak Jusuf Kalla telah mengucapkan selamat pada Pak SBY. Ini indah. Pak JK telah melanjutkan tradisi para negarawan sebelumnya – orang-orang yang ikhlas, tidak dendam, dan tidak menempatkan kekuasaan sebagai tujuan. Orang-orang ikhlas memberikan jalan kepada yang lebih berhak, bukan penghadang. Pak JK negawaran. Seorang negarawan akan tetap dihormati, dikenang, dan dirindukan.

Dan, Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto -- yang lahir dari para negarawan besar bangsa ini -- kita harap pada saatnya, melakukan hal yang sama. Mereka dapat menjadikan bangsa ini indah ... (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar