Selasa, 05 Agustus 2008

Renungan menyambut HUT Kemerdekaan RI ke 63



Tak terasa 63 tahun sudah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri dan merdeka dari penjajahan, memang untuk ukuran hidup suatu bangsa yang usia 100 tahun, masih tergolong muda bahkan bisa dibilang setaraf dengan masa kanak-kanak yang akan berangkat remaja.

Jika dilihat dari perspektif ini tentu bisa dimaklumi, jika kehidupan sosial kita yang masih belum teratur dan tertib, bahkan masih dipenuhi gejolak dinamika berupa pertengkaran antar sesama komponen bangsa, kondisi ini mirip keadaan temper tantrum , suka mengamuk dan merajuk pada anak-anak, cerminan sikap yang belum memahami tanggung jawab .


Akhir-akhir ini kita juga disibukkan dengan semakin meraja lela tindakan korupsi dalam kehidupan pejabat publik kita dan kehidupan keseharian kita.


Semua ini mencerminkan kita masih berada dalam taraf anak-anak dalam kehidupan berbangsa.


Datangnya era reformasi, memberikan bangsa kita berkesempatan untuk memasuki alam remaja yang juga penuh gejolak, dan sibuk bereksperimen dengan kebebasan yang muncul secara tiba-tiba setelah sekian lama terkekang dibawah rezim Orde Baru yang serba otoriter.


Kebebasan yang datang tiba-tiba itu memunculkan sikap eforia kebebasan dimana-mana, dan serba anti kemapanan, karena kemapanan dianggap identik dengan warisan rezim lama yang kepalang dianggap tidak benar sehingga harus segera ditinggalkan, sementara sistem dan nilai-nilai baru belum ada, dan masih perlu waktu, ini membuat kita jadi limbung.


Kondisi ini persis seperti anak remaja yang baru tahu dunia diluar rumah, tapi belum mengerti apa-apa dan masih serba meraba-raba. Keadaan mental anak-anak dan remaja adalah berputar disoal senang dan benci, enak dan tak enak, dan inginnya serba instan serba materil, bukan persoalan benar salah dan baik buruk yang semestinya dicari.


Dengan metafor seperti itu, maka masa kanak-kanak dan remaja bangsa Indonesia hanya bisa diselamatkan apabila pendidikan anak bangsa dapat dilakukan dengan baik dan benar serta berkesinambungan dalam membentuk nilai-nilai yang luhur. Seperti kejujuran, visioner, tanggung jawab, kepedulian.


Karena hakikat alam semesta bahwa semua yang terjadi dialam materi, merupakan refleksi dari apa yang terjadi dialam fikiran (baca mental), Goethe, seorang filsuf terkenal Jerman pernah berkata , awasi pikiranmu karena ia akan membentuk kata-kata, awasi kata-katamu karena ia membentuk tindakan kita, awasi tindakanmu karena ia membentuk karakter mu, dan awasi karaktermu karena ia menentukan nasibmu.


Jika kita merenungi apa yang dikatakan Goethe tersebut diatas, gejala kekisruhan yang terjadi dalam perjalanan kehidupan nasional kita ini, sebenarnya merupakan refleksi kerusakan yang terjadi dialam fikiran kita sebagai bangsa, hal ini pernah disampaikan oleh Bapak Presiden kita Susilo Bambang Yudhoyono menanggapi berbagai kekisruhan yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Semua hal yang terjadi ini bisa saja merupakan buah pendidikan masa lalu yang lebih menekankan pada pembangunan fisik material dibandingkan dengan pembangunan mental spiritual bangsa kita. Ibarat orang yang sibuk mengubah pakaian agar bisa kelihatan menjadi seseorang yang terhormat, tetapi perilaku dirinya sebenarnya rendah, maka apapun yang dipakaikan kepadanya akan memperlihatkan perilaku rendahnya itu, sebab pakaian hanyalah sebatas kulit luar, atribut yang kurang bisa menutupi karakter seseorang yang dasarnya tidak berbudaya.


Negeri tetangga mungkin bisa dijadikan contoh bagaimana membangun suatu tata nilai, suatu budaya sehingga berkembang menjadi masyarakat yang lebih tertib dan teratur dan relatif lebih maju, karena para pemimpin bangsanya benar-benar memberi perhatian besar pada pendidikan anak bangsanya.


Bahkan dulu di era tahu 70 an bahkan sampai sekarang pun mereka mengirim pelajarnya ke negeri kita untuk belajar, bahkan ke seluruh dunia untuk menimba ilmu, yang kelak bisa dimanfaatkan bagi pembangunan tanah airnya.


Sekarang kita bisa menyaksikan kemajuan yang pesat yang mereka raih, bahkan sekarang mereka yang menawarkan pendidikan kepada kita, ini ibarat kebo nusu gudhel, ini menunjukkan betapa besarnya dampak pendidikan dan pembinaan pola pikir anak bangsa yang akhirnya bisa membentuk karakter dan tata nilai yang mendukung kemajuan peri kehidupan modern.


Ini menjelaskan mengapa reformasi kita gagal dan belum menunjukkan hasil yang diinginkan, coba kita perhatikan selama ini yang kita perbaiki dalam kehidupan berbangsa adalah, proses, prosedur, peraturan yang semuanya sebenarnya hanya atribut, kulit dan pakaian, sementara pada saat yang sama pendidikan dan pembinaan karakter bangsa ketinggalan bahkan tambah terpuruk.


Kita bisa melihat kecilnya anggaran pendidikan kita yang masih berkisar 17%, masih dibawah standar Undang-Undang Pendidikan yang mensyaratkan minimal 20 %, apatah lagi bila dibandingkan dengan negara tetangga yang lebih dari 30 %, hal ini jelas jauh dari keseimbangan. Perubahan proses , prosedur , peraturan tanpa diimbangi dengan pendidikan dan pembinaan yang memadai , tak banyak artinya bagi perubahan budaya


Kehidupan kita hari ini bisalah dikatakan semuanya serba semaunya, reformasi kita maknai sebagai bisa melakukan apapun sesuka hati kita atas nama hak azasi, tak peduli apakah ia melanggar hak orang lain, hak publik yang penting kita untung.


Kemerdekaan yang pada 17 agustus setiap tahun kita peringati hanyalah sebuah pintu gerbang menuju alam kebebasan, dan kebebasan itu sejatinya merupakan kebebasan memilih, karena semua dalam kehidupan ini adalah pilihan-pilihan. Memilih yang benar dari yang salah, yang sejati dari yang imitasi, yang baik dari yang buruk, namun semua itu memerlukan sesuatu kemampuan yang bersumber dari olah pikir dan rasa yang baik agar bisa membentuk karsa yang bisa diwujudkan, semua itu membutuhkan pendidikan , pembelajaran.


Didalam kebodohan orang hanya akan memilih yang enak, yang nyaman yang bisa langsung dirasakan, sehingga yang berkembang adalah budaya yang tidak memiliki ketinggian, sebaliknya perlaku rendah yang merajalela, seperti korupsi, keserakahan , arogansi , mengejar kenikmatan sesaat dan tak peduli dan empati pada orang lain apatah lagi pada alam lingkungan.


Dalam tataran keberagamaan, Islam sebagai agama mayoritas yang begitu tinggi nilai-nilai kebenarannya hanya dipahami dan diaplikasikan secara simbolis, penuh formalitas belum menyentuh keberagamaan yang hakiki yang penganutnya menjadi rahmat bagi alam.


Semua kegagalan kita hari ini karena kita gagal membangun jiwa kita, kita sibuk membangun hal-hal fisik material.Dalam lagu Indonesia Raya disana kita diminta terlebih dahulu membangun jiwa , baru kemudian membangun badan agar terwujud yang namanya Indonesia Raya nan jaya.


Allah dalam Al Qur’an mengatakan bahwa Ia tidak akan mengubah nasib suatu bangsa/kaum sampai bangsa/kaum itu mengubah apa yang ada didalam diri mereka yakni jiwa. Tanpa perubahan didalam lubuk jiwa yang akan menyinari perubahan pola pikir dan tindakan kita , maka cita-cita kemerdekaan yang kita impikan itu untuk mengubah nasib bangsa masih sangat jauh jalannya.

1 komentar:

  1. absolutely right. saya mendukung pendapat Bapak. Semoga Bangsa Indonesia bisa meraih kembali hakikat kemerdekaannya yang telah lama hilang. Merdeka!

    BalasHapus