Ini mungkin agak absurd mendikotomi antara kompetisi dengan kolaborasi, karena dalam alam pikiran liberal kapitalistik materialistik seperti sekarang ini tidak dapat lagi disangkal kalau kata-kata kompetisi atau persaingan adalah suatu keniscayaan, bahwa hanya karenanyalah lahir sesuatu yang terbaik dari diri manusia/organisasi modern, aksioma ini menyatakan tanpa persaingan tak mungkin manusia mencapai kompetensi yang tertinggi yang dimilikinya.
Saya kira semua orang akan setuju dengan hal itu, asalkan kompetensi dilakukan secara fair/adil, jujur dan transparan, bahkan dalam agama kita juga diminta untuk melakukan apa yang diistilahkan dengan fastabikul khairat, yakni berlomba lombalah kamu dalam kebaikan. Jadi kompetisi adalah suatu cara mencapai kebaikan.
Yang di masalahkan disini bukan hasil baik yang lahir dari kompetisi, tetapi effek samping yang ditimbulkannya dalam kehidupan kita. Pertama kali begitu kita memasuki pintu kompetisi , maka sistem mental kita akan men set up diri kita ke posisi alertness, suatu sikap keterjagaan dan kewaspadaan penuh , lebih tepatnya mental kita akan men set up diri kepada mode survival.
Untuk mencapai posisi kewaspadaan yang penuh, mau tidak mau sistem biologis kita akan dirangsang mengeluarkan hormon adrenalin yang bisa menyebabkan meningkatnya tekanan pada pembuluh darah , bertambahnya denyut jantung lebih cepat, serta nafas memburu, keadaan mana sebenarnya sama dengan keadaan stress,jika kondisi tersebut berlangsung cukup lama bisa-bisa bikin tambah depresi dan frustasi yang bisa membuat seseorang cepat collaps.
Kalau kondisi tersebut terjadi hanya sebentar dan hanya berlaku dibidang permainan dan bukan dibidang kehidupan secara keseluruhan tentu dampaknya kecil saja, akan tetapi jika kompetisi itu memasuki dataran peradaban, maka effek sampingnya juga berskala peradaban.
Coba kita amati peradaban kita sekarang, rasanya tidak ada suatu istilahpun yang dinisbahkan untuk sebuah kemajuan, keberhasilan tidak menggunakan jargon kompetitif, sebuah keberhasilan hanya bisa dicapai jika person atau organisasinya kompetitif. Akan tetapi paradoks yang terjadi justru membuat miris , semakin manusia maju dan menjadi modern mengapa manusia menjadi lebih pendek umurnya dan makin berhasil dalam kehidupan materialnya manusia modern semakin tidak bahagia?, Bandingkan dengan manusia dulu di zaman peradaban awal usia manusia bisa lebih panjang.
Pernah dilakukan sebuah penelitian di negara maju, terungkap bahwa ternyata manusia memiliki potensi umur biologis minimal usia 93 tahun,dan yang terpanjang 175 tahun, artinya 5 sampai 7 kali masa pertumbuhan manusia, kalau diambil rata-rata maka potensi umur biologis manusia bisa mencapai usia rata-rata 125 tahun, saat ini dari seluruh bangsa-bangsa didunia yang memiliki usia harapan hidup tertinggi adalah Jepang yakni 93 tahun.
Betapapun bukan mau mengatakan bahwa kompetisi tidak diperlukan, tetapi bisakah kompetisi itu menghindarkan diri dari suatu hal yang mungkin kedengarannya musykil terjadi yakni suatu keadaan menang-kalah, yakni saya menang orang lain kalah atau istilahnya the winner takes all .
Kalau kita cermati kompetisi tak lain hanya sebuah cara untuk mencapai tujuan hidup manusia, yang digunakan karena pra anggapan terbatasnya sumberdaya alami guna menopang kehidupan ini . Dalam anggapan ini persaingan dan perebutan sumberdaya alami yang terbatas itu adalah sebuah keharusan agar bisa survive, perjuangan hidup mati , pemenangnyalah yang berhak hidup survival of the fittest. yang kalah harus minggir dan boleh ditindas.
Dalam logika tersebut tidak aneh kalau kita semua berlomba-lomba mengembangkan fakultas integensia terutama IQ, akibatnya kehidupan kita makin sumpek, kering, kurang bahagia, egois , mau menang sendiri melahirkan mentalitas serakah (out side in), . Dalam budaya kompetisi untuk menang ,mutlak diperlukan keunggulan, bukan keunggulan sekadarnya, akan tetapi keunggungan yang sulit ditiru yang akan membuat semua pesaing tak berkutik (baca mampus). Nilai kompetisi mengajarkan bahwa tidak ada tempat bagi kelemahan dan tidak toleransi terhadap kekurangan diri sendiri, tidak ada belas kasihan terhadap lawan, tidak ada peluang bagi kemenangan bersama
Padahal kalau mau direnungkan lebih dalam, spesies manusia hanya ada di bumi yang melayang-layang kesepian di tata surya sendirian dalam gugus galaxy bima sakti yang jumlahnya terdapat milyaran bintang. Harusnya malah manusia bukan bersaing satu-sama lain didalam kehidupan di bumi , akan tetapi justru malah mesti bersama-sama bahu-membahu menata kehidupan bersama dibumi dengan tolong-menolong demi kesejahteraan umat manusia dibumi.
Kerusakan bumi, peperangan, terorisme, korupsi, kemiskinan, tingginya jurang kaya-miskin yang terjadi saat ini sebenarnya produk dari persaingan antar ego yang mengeksploitasi IQ kepintaran manusia, hanya untuk hawa nafsu se-saat.
Setelah semua yang terjadi ini , perlahan manusia mulai menyadari perlunya menggunakan EQ dalam menata hubungan antar manusia dan kini kesadaran manusia mulai meningkat perlunya suatu pola hubungan interdependen dalam menata kehidupan, sehingga manusia merasa perlu menggunakan fakultas intelegensia yang tertinggi yaitu Spiritual Quotient (SQ).
Tuhan mengatakan dalam kitab suci, bahwa bumi beserta isinya sesungguhnya diciptakan untuk mampu mencukupi semua hajat hidup makhluk yang menghuninya, akan tetapi tidak cukup untuk memenuhi hajat hidup seorang manusia yang serakah, sehingga disini manusia sebenarnya harus meninggalkan budaya kompetisi, dan pada saatnya memenuhi panggilan Tuhan guna merengkuh budaya yang baru yakni kolaborasi.
Pencapaian manusia modern akan dunia materi telah memporak porandakan keseimbangan nature dan lingkungan hidup kita, apa yang dicari sebenarnya? Manusia terjebak kedalam keserakahan yang tidak ada habisnya, sementara yang dicarinya semakin jauh, bumi ini cuma satu dan hak semua ras manusia untuk hidup bersama, kalau hidup mau damai, tidak ada cara lain kecuali bekerjasama dengan lainnya, syaratnya kerjasama yang baik hanya satu, harus bersumber dari hati yang bersih, yakni kasih sayang.
Oleh karena itu ajang kompetisi sebaiknya di alihkan dari persaingan penguasaan materi yang serba terbatas, ke dunia non materi/spiritual yang tak terbatas, dan persaingan dilakukan oleh manusia melawan egonya sendiri, dan ini sebenarnya persaingan yang sengit dan besar kata nabi ini jihad akbar, biar yang menjadi korban dan disembelih adalah egonya masing2, sehingga sesuai seperti pesan nabi bersainglah kamu didalam kebaikan, yang tolok ukur keberhasilannya adalah kesalehan dan ketakwaan kepada Allah.
Saya kira semua orang akan setuju dengan hal itu, asalkan kompetensi dilakukan secara fair/adil, jujur dan transparan, bahkan dalam agama kita juga diminta untuk melakukan apa yang diistilahkan dengan fastabikul khairat, yakni berlomba lombalah kamu dalam kebaikan. Jadi kompetisi adalah suatu cara mencapai kebaikan.
Yang di masalahkan disini bukan hasil baik yang lahir dari kompetisi, tetapi effek samping yang ditimbulkannya dalam kehidupan kita. Pertama kali begitu kita memasuki pintu kompetisi , maka sistem mental kita akan men set up diri kita ke posisi alertness, suatu sikap keterjagaan dan kewaspadaan penuh , lebih tepatnya mental kita akan men set up diri kepada mode survival.
Untuk mencapai posisi kewaspadaan yang penuh, mau tidak mau sistem biologis kita akan dirangsang mengeluarkan hormon adrenalin yang bisa menyebabkan meningkatnya tekanan pada pembuluh darah , bertambahnya denyut jantung lebih cepat, serta nafas memburu, keadaan mana sebenarnya sama dengan keadaan stress,jika kondisi tersebut berlangsung cukup lama bisa-bisa bikin tambah depresi dan frustasi yang bisa membuat seseorang cepat collaps.
Kalau kondisi tersebut terjadi hanya sebentar dan hanya berlaku dibidang permainan dan bukan dibidang kehidupan secara keseluruhan tentu dampaknya kecil saja, akan tetapi jika kompetisi itu memasuki dataran peradaban, maka effek sampingnya juga berskala peradaban.
Coba kita amati peradaban kita sekarang, rasanya tidak ada suatu istilahpun yang dinisbahkan untuk sebuah kemajuan, keberhasilan tidak menggunakan jargon kompetitif, sebuah keberhasilan hanya bisa dicapai jika person atau organisasinya kompetitif. Akan tetapi paradoks yang terjadi justru membuat miris , semakin manusia maju dan menjadi modern mengapa manusia menjadi lebih pendek umurnya dan makin berhasil dalam kehidupan materialnya manusia modern semakin tidak bahagia?, Bandingkan dengan manusia dulu di zaman peradaban awal usia manusia bisa lebih panjang.
Pernah dilakukan sebuah penelitian di negara maju, terungkap bahwa ternyata manusia memiliki potensi umur biologis minimal usia 93 tahun,dan yang terpanjang 175 tahun, artinya 5 sampai 7 kali masa pertumbuhan manusia, kalau diambil rata-rata maka potensi umur biologis manusia bisa mencapai usia rata-rata 125 tahun, saat ini dari seluruh bangsa-bangsa didunia yang memiliki usia harapan hidup tertinggi adalah Jepang yakni 93 tahun.
Betapapun bukan mau mengatakan bahwa kompetisi tidak diperlukan, tetapi bisakah kompetisi itu menghindarkan diri dari suatu hal yang mungkin kedengarannya musykil terjadi yakni suatu keadaan menang-kalah, yakni saya menang orang lain kalah atau istilahnya the winner takes all .
Kalau kita cermati kompetisi tak lain hanya sebuah cara untuk mencapai tujuan hidup manusia, yang digunakan karena pra anggapan terbatasnya sumberdaya alami guna menopang kehidupan ini . Dalam anggapan ini persaingan dan perebutan sumberdaya alami yang terbatas itu adalah sebuah keharusan agar bisa survive, perjuangan hidup mati , pemenangnyalah yang berhak hidup survival of the fittest. yang kalah harus minggir dan boleh ditindas.
Dalam logika tersebut tidak aneh kalau kita semua berlomba-lomba mengembangkan fakultas integensia terutama IQ, akibatnya kehidupan kita makin sumpek, kering, kurang bahagia, egois , mau menang sendiri melahirkan mentalitas serakah (out side in), . Dalam budaya kompetisi untuk menang ,mutlak diperlukan keunggulan, bukan keunggulan sekadarnya, akan tetapi keunggungan yang sulit ditiru yang akan membuat semua pesaing tak berkutik (baca mampus). Nilai kompetisi mengajarkan bahwa tidak ada tempat bagi kelemahan dan tidak toleransi terhadap kekurangan diri sendiri, tidak ada belas kasihan terhadap lawan, tidak ada peluang bagi kemenangan bersama
Padahal kalau mau direnungkan lebih dalam, spesies manusia hanya ada di bumi yang melayang-layang kesepian di tata surya sendirian dalam gugus galaxy bima sakti yang jumlahnya terdapat milyaran bintang. Harusnya malah manusia bukan bersaing satu-sama lain didalam kehidupan di bumi , akan tetapi justru malah mesti bersama-sama bahu-membahu menata kehidupan bersama dibumi dengan tolong-menolong demi kesejahteraan umat manusia dibumi.
Kerusakan bumi, peperangan, terorisme, korupsi, kemiskinan, tingginya jurang kaya-miskin yang terjadi saat ini sebenarnya produk dari persaingan antar ego yang mengeksploitasi IQ kepintaran manusia, hanya untuk hawa nafsu se-saat.
Setelah semua yang terjadi ini , perlahan manusia mulai menyadari perlunya menggunakan EQ dalam menata hubungan antar manusia dan kini kesadaran manusia mulai meningkat perlunya suatu pola hubungan interdependen dalam menata kehidupan, sehingga manusia merasa perlu menggunakan fakultas intelegensia yang tertinggi yaitu Spiritual Quotient (SQ).
Tuhan mengatakan dalam kitab suci, bahwa bumi beserta isinya sesungguhnya diciptakan untuk mampu mencukupi semua hajat hidup makhluk yang menghuninya, akan tetapi tidak cukup untuk memenuhi hajat hidup seorang manusia yang serakah, sehingga disini manusia sebenarnya harus meninggalkan budaya kompetisi, dan pada saatnya memenuhi panggilan Tuhan guna merengkuh budaya yang baru yakni kolaborasi.
Pencapaian manusia modern akan dunia materi telah memporak porandakan keseimbangan nature dan lingkungan hidup kita, apa yang dicari sebenarnya? Manusia terjebak kedalam keserakahan yang tidak ada habisnya, sementara yang dicarinya semakin jauh, bumi ini cuma satu dan hak semua ras manusia untuk hidup bersama, kalau hidup mau damai, tidak ada cara lain kecuali bekerjasama dengan lainnya, syaratnya kerjasama yang baik hanya satu, harus bersumber dari hati yang bersih, yakni kasih sayang.
Oleh karena itu ajang kompetisi sebaiknya di alihkan dari persaingan penguasaan materi yang serba terbatas, ke dunia non materi/spiritual yang tak terbatas, dan persaingan dilakukan oleh manusia melawan egonya sendiri, dan ini sebenarnya persaingan yang sengit dan besar kata nabi ini jihad akbar, biar yang menjadi korban dan disembelih adalah egonya masing2, sehingga sesuai seperti pesan nabi bersainglah kamu didalam kebaikan, yang tolok ukur keberhasilannya adalah kesalehan dan ketakwaan kepada Allah.
Ass......Saya mau tanya, jika kompetisi VS Kolaborasi cenderung akan menghasilkan sesuatu yang miskin empathy, bagaimana dengan pembahasan tentang kohesifitas (keterpaduan) ? Apa yang akan dihasilkan oleh kohesifitas tersebut jika dipadukan dengan kolaborasi di perusahaan yang telah go public ? Apakah sudah terwujud kohesifitas di perusahaan kita ini ? jika belum terwujud.....
BalasHapusBagaimana cara mewujudkannya ?
Mohon penjelasan dari Pak Adyt, saya tunggu artikelnya...Wass....Terima Kasih
Saya kira ada betulnya Kang Adit, bahwa untuk yang non materi/non duniawi arahnya kompetisi, sementara yang keduniawian cenderung ke kolaborasi, ini juga didukung trend masa kini(blue ocean instead of red ocean), kolaborasi usaha (frenchise) dsb.
BalasHapusDuillee...!
BalasHapusbeurat beurat pisan komentarna...
saya mah lebih suka "
"make the compettion become irrelevant" jadi sedapat mungkin gak usahlah kita repot2 berkompetisi kalau kita udah sangat unggul...! (unggul cariawan kaleee...!)